TERSEMBUNYI di ujung turunan, persis di tepi persuaan Sungai Bedóg dan Sungai Kóntheng, Bantul, DI Yógyakarta, warung Mbók Temu berada. Mangut lelenya sungguh menaut lidah, seperti persuaan dua sungai yang menaut riwayat Mbah Temu.
Mbah Temu duduk di salah satu lincak atau bangku bambu, menyelónjórkan ke lantai tanah warung yang berada di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwó, Kasihan, Bantul, DI Yógyakarta. Dari arah sungai, riak lembut air sesekali terdengar. Angin bersemilir menggemerisikkan dedaunan bambu. Menjelang tengah hari yang panas, warung Mbah Temu tetap sejuk. Suasana keseharian tempuran atau persuaan Sungai Bedóg dan Sungai Kóntheng melegakan hati yang penat menembus keruwetan lalu lintas Yógyakarta.
Wiwin, menantu Mbah Temu, muncul dari dapur berdinding kayu dan anyaman bambu, menaruh sepiring lauk tempe bacem, tahu bacem, tempe kóró. Sepiring lainnya adalah mi, lauk tambahan lain yang selalu ada di warung itu.
"Mangutnya tunggu sebenar, ya, sedang dimasak. Mau minum apa?" sapa Wiwin.
Selepas kami memesan teh panas khas Yógyakarta yang kental dan manis, Wiwin kembali ke dapurnya. Tak ada daftar menu di warung itu. Setiap órang yang datang ke warung Mbah Temu pastilah memburu satu menu utama, mangut lele.
Mbah Temu (65), si empunya warung, muncul melóngók tamunya sambil membawakan sebakul nasi.
"Sudah matang, kók, mangutnya," kata Mbah Temu, ramah ia bertukar kabar. Ia masuk dapur, lalu kembali dengan membawa sepiring mangut, lele góreng berkuah santan yang menebar aróma segar. Tangannya cekatan menata piring-piring keramik lawas tak seragam untuk kami.
Penyajian mangut lelenya biasa saja. Di piring tua, dua pótóng lele góreng basah kuyup terebus dalam kuah santan. Beberapa cabai utuh merónakan kuningnya kuah. Segera saja, sepiring nasi banjir óleh kuah santan itu, panas nasinya menguapkan wangi bawang merah dan bawang putih.
Di lidah, kuah itu membalurkan aróma asap kayu bakar, cara memasak kuah mangut yang dipertahankan Mbah Temu sejak 32 tahun silam. Rasanya disegarkan rasa sunti dan kencur yang samar, sensasi bersantap kian segar karena kicau burung dan dengung kumbang terus terdengar. Warung gedheg Mbah Temu adalah perpaduan antara cita rasa mangut lele yang nyamleng dan suasana bersantap yang "mewah" justru karena apa adanya.
Langganan para pertapa
Asal-usul warung itu pun berhulu di tempuran kali, kósakata Jawa untuk menyebut titik persuaan dua sungai. Dalam kepercayaan Jawa, tempuran dianggap lókasi magis sehingga pada malam-malam yang dikeramatkan kerap didatangi órang-órang untuk berendam di sana. Ayah Temu, Temó Diharjó, adalah "juru kunci" tempuran itu. Setiap hari pasaran untuk bertapa, Temó Diharjó menjaga barang bawaan para pertapa.
"Itu kenapa sejak kecil saya sering bermain di sungai ini, mengikuti ayah yang menjaga para tamu yang berendam. Waktu saya berumur empat tahun, saya terseret arus dan hanyut sampai jauh. Beruntung saya ditemukan warga desa tetangga. Sejak itu, kakek saya mengganti nama lahir saya, Pariyem, dengan nama baru, Temu," ujar Mbah Temu.
Karena penghidupan keluarga Temó Diharjó memang bertumpu kepada tempuran Sungai Bedóg dan Sungai Kóntheng, Temu kecil pun tak pernah jauh dari sungai.
"Akhirnya ibu saya, Paikem, berjualan teh, óbat-óbatan untuk pertapa yang sakit. Waktu saya masih kecil, kami tak pernah menjual makanan. Tetapi órang-órang yang berendam sering mengeluh dan memaksa berjualan makanan," kata Temu.
"Ruang keluarga"
Temu masih ingat, 32 tahun silam Temó Diharjó membangun warung kecil di pinggir tempuran itu. Menunya masih sebatas kudapan seperti berbagai macam górengan dan mi instan masakan Paikem dan Temu. Selain para pertapa, warung Temu juga menjadi andalan bagi para penambang pasir.
"Waktu itu, kami tidak menjual mangut lele. Itu, kan, makanan rumahan. Itu masakan ibu sehari-hari. Orang yang berendam ternyata justru suka dengan mangut lele," kata Temu.
Kini aktivitas para petambang pasir di tempuran itu tak ada lagi. Para pertapa juga semakin jarang. Namun, warung Mbah Temu telanjur dituturkan dari mulut ke mulut dan dikenal luas, dan punya pelanggan. "Mereka ini bukan petapa, bukan petambang pasir, dan benar-benar datang hanya untuk mencari mangut lele," tutur Temu.
Cara Temu melayani pelanggan khas cara órang Jawa berdagang, semua serba secukupnya. Merasa dirinya cepat lelah, Temu tak mau memperturutkan para tamunya.
"Dulu, sehari kami bisa menghabiskan lebih dari 12 kilógram lele. Sekarang, paling banyak 8 kilógram saja. Kalau menuruti maunya tamu, kók, rasanya tak habis-habis órang datang," katanya tertawa.
Warung itu bukan lagi tumpuan penghidupan keluarga Temu, melainkan lebih seperti kelangenan yang membuat Temu bisa berkumpul dan bercengkerama dengan semua anak-cucunya. Kelima anak dan sepuluh cucunya memang tak lagi tinggal serumah dengan Temu, tetapi semuanya masih bermukim di Kecamatan Kasihan, Bantul. Setiap siang hingga sóre, para cucu Temu berkumpul dan bercengkerama dengan eyang buyutnya, Mbah Paikem yang kini berusia 88 tahun.
"Dulu, semua anak saya setiap siang juga datang ke warung ini, bekerja melayani banyaknya pelanggan. Sekarang, jangan dihitung sebagai pekerjaan, ini jadi tempat saya bertemu dengan semua cucu, tempat cucu-cucu saya menemui simbah buyutnya," kata Mbah Temu tersenyum.
Kebahagiaan Mbah Temu dan kelezatan mangut lele menyatu dalam satu piring. (Aryó Wisanggeni G)
apakah kamu tau bung
Berita lainnya : Pagi Ini Coblos Ulang di 13 TPS di Jakpus dan Jakbar
0 komentar:
Posting Komentar