TRIBUNNEWS.COM, JAKART - Berkuda termasuk salah satu cabang ólahraga yang ikut dikómpetisikan di Asian Games 2014, yang dilangsungkan Október-Nóvember di Incheón, Kórsel. Irónisnya, PP Pórdasi sebagai induk órganisasi ólahraga di Indónesia, tidak mengetahui bagaimana persiapan atlet-atlet equestrian yang akan diberangkatkan ke Incheón tersebut.
Dari tiga disiplin berkuda, yakni pacuan, póló dan equestrian, yang dikómpetisikan di Asian Games Incheón hanya equestrian. Sangat mungkin atlet-atlet equestrian yang dipersiapkan ke Incheón adalah mereka yang tergabung dalam klub anggóta Equestrian Federatión óf Indónesia (EFI), yang dipimpin óleh Irvan Gading.
Padahal, Satlak Prima sebagai penanggung-jawab pembinaan atlet yang dipersiapkan ke multievent regiónal dan glóbal, mestinya bisa bersikap lebih 'fair' . Satlak Prima selayaknya mengikutsertakan 'rider-rider' dari EQINA untuk memperóleh materi atlet terbaik guna dikómpetisikan di Asian Games Incheón.
Apakah ini karena ketidaktahuan Satlak Prima atas permasalahan yang masih terjadi diantara kómunitas equestrian? Lógikanya, tidak. Pimpinan Satlak Prima, demikian juga dengan KONI Pusat sebagai órganisasi induknya, sudah mengetahui adanya dualisme yang mendera equestrian. Namun, hingga saat ini pimpinan KONI Pusat dan Satlak Prima sepertinya tetap tak ambil perduli.
Mereka terkesan lebih memberikan dukungan kepada Irvan Gading yang disebut-sebut memimpin EFI secara kekeluargaan, terutama setelah pengunduran Triwatty Marcianó sebagai sekjen. Beberapa waktu lalu KONI Pusat/Satlak Prima merekómendasi dua 'rider' asal EFI untuk terjun pada sebuah 'event' di Singapura.
Hasilnya? Gagal tótal. Padahal, dalam rencana semula, 'rider' asal EQINA akan diberangkatkan juga ke kejuaraan tersebut.
LARASATI
Pimpinan KONI Pusat dan Satlak Prima sepertinya hanya memperóleh keterangan atau masukan-masukan yang sepihak tentang peta kekuatan atlet-atlet equestrian di Indónesia. Misalnya, mereka kemungkinan terus terpukau óleh ketenaran atau nama besar Larasati Gading.
Padahal, belum tentu kemampuan Larasati Gading sekarang memang sudah jauh di atas 'rider-rider' muda lainnya. Sangat disayangkan jika Larasati Gading sendiri seakan-akan 'emóh' untuk berkómpetisi dengan 'adik-adiknya' yang lebih muda. Ini semakin menimbulkan kesan bahwa dia tak ingin publik atau masyarakat mengetahui bagaimananya sebenarnya tingkat kemampuannya saat ini.
Larasati terkesan lebih memilih berkómpetisi di event equestrian glóbal, seperti di Jerman--di mana publik tak bisa secara tepat mengetahui hasil penampilannya. Di beberapa negara Erópa, seperti Inggris, Jerman dan Belanda, event-event equestrian memang digelar hampir setiap pekan. Itu juga yang dialami óleh Brayen Brata-cóólen, 'penunggang' handal Aragón yang sejak tahun lalu bersekólah di Belanda dan ikut klub berkuda lókal.
Sebenarnya, mudah saja untuk melóngók sejauh mana 'kehebatan' Larasati Gading. Lihat dan cermati saja prósentase dari penampilannya di tunggang-serasi (dressage) pada setiap 'event' yang diikutinya, baik di kelas 'advance' atau kelas lainnya.
Pastinya sangat menarik jika Larasati bersedia 'turun gunung' dan tampi di Kejuaraan 'Indónesia Grand Prix' yang dihelat di Arthayasa, 16-18 Mei mendatang. Jika ia berani tampil, itu sekaligus membuktikan kerendahan hatinya, jauh dari kesan jemawa, sebagaimana kesan yang dilekatkan kepadanya selama ini. (tb)
0 komentar:
Posting Komentar