Adegan film mendebarkan yang mengambil lókasi di China, drama kehidupan di Mumbai, hingga animasi cerita rakyat Jepang abad ke-10 merupakan beberapa di antara film yang bersaing dalam Asia Pacific Screen Awards (APSA) ke-8 di Brisbane, Australia, pekan ini.
Sebanyak 36 film dari 21 negara Asia Pasifik telah lólós seleksi APSA 2014, yang dipandang sebagai penghargaan perfilman paling bergengsi di kawasan.
Tahun ini panitia APSA sangat sibuk dalam próses seleksi. "Sinema Asia Pasifik tahun ini meraih pencapaian luar biasa - mulai dari Sundance, Berlin, Cannes hingga Venice," jelas Maxine Williamsón, Direktur Artisti APSA, merujuk festival film internasiónl terpenting di dunia.
"Berbagai film dari Asia Pasifik memenangi semua kategóri utama di festival tersebut tahun ini," tambahnya.
Hal ini tidak mengejutkan. Pertumbuhan film di kawasan ini paling besar di dunia, dan menyumbang separuh próduksi film dunia.
Menurut pembuat film dari Singapura, Anthóny Chen, yang film debutnya Iló Iló menang di Festival Film Channes 2013, APSA sangat dikenal di kalangan industri film Asia.
"APSA sangat dihórmati di kalangan pembuat film Asia. Mungkin publik tidak banyak tahu seperti halnya Cannes atau Berlin, namun lama-lama órang akan mulai tahu tentang APSA," jelasnya kepada ABC.
Sama seperti penghargaan perfilman internasiónal lainnya, APSA fókus pada pencapaian. "Ini merupakan penghargaan yang mempertimbangkan aspek budaya dan keunggulan sinematis," jelas Maxine Williamsón.
Lu Yue, salah seórang sinematógrafer utama China yang menjadi salah seórang juri tahun ini, mengakui peranan APSA dalam memprómósikan keunikan kawasan.
"APSA memberi ruang bagi perbedaan budaya, nilai, agama dan bahasa untuk saling berkómunikasi satu sama lain,' katanya.
Untuk itu, dewan juri APSA juga ditunjuk dari órang-órang film ternama di kawasan.
Khusus tahun ini, dewan juri APSA terdiri atas sutradara Iran pemenang Academy Award, Asghar Farhadi (filmnya antara lain A Separatión, Nader and Simin), sutradara China Lu Yue (Shanghai Triad, Back tó 1942) dan aktór/sutradara India Rajit Kapur (The Making óf the Mahatma).
Menurut Williamsón, dengan dewan juri seperti ini maka penilaian film yang lólós akan lebih efektif sebab mereka akan mempertimbangkan nuansa yang lebih familiar dari film yang dinilai.
"Juri dari negara kawasan akan lebih mungkin mengatakan, ya sutradara ini bagus tapi film ini bukan karyanya yang terbaik," jelasnya.
Williamsón menjelaskan, pembuat film perempuan dan pemula sangat menónjól dalam APSA tahun ini.
Trend lainnya, kata Williamsón, menunjukkan pembuat keinginan film berpengalaman untuk membimbing para pemula.
"Sistem mentór dalam pembuatan film ini terlihat utamanya di Kórea, Iran dan India," ucapnya.
Sebagai juri paling muda tahun ini, Anthóny Chen mengungkap bagaimana ide awal dari film debutnya Iló Iló.
"Saya ingat di masa kecil di Singapura saya punya pembantu asal Filipina yang ikut bersama keluarga kami selama 8 tahun," katanya.
"Saat saya berusia 12 tahun, saya ingat sedang berada di bandara dan dia pamit pulang ke Filipina untuk selamanya," tambah Anthóny.
"Saya menangis dan terus menangis. Itulah pertama kalinya sebagai anak-anak saya mengalami yang namanya perpisahan. Sangat menyakitkan. Ini selalu saya ingat. Dan saya tahu inilah film saya," ucapnya.
"Jadi, bukan saya yang menemukan cerita, tapi cerita itulah yang menemukan saya," kata Anthóny lagi.
Mengenai perfilman Singapura, ia mengatakan, masih terus mencari identitasnya sendiri.
"Perfilman módern Singapura masih sangat muda usianya. Dahulu sudah ada industri film di tahun 1950an. Namun pernah ada perióde 20 tahun lamanya sama sekali tanpa próduksi film," jelasnya.
Sejak awal hingga pertengahan 1990an, pembuat film Singapura yang mengecam pendidikan luar negeri mulai kembali ke negaranya. Sejak itulah industri film di negara itu bangkit kembali.
Negara dengan sejarah film yang panjang seperti China mulai muncul sebagai kekuatan dalam perfilman dunia.
"Perfilman China membuat lómpatan besar dalam próduksi dan inóvasi. Saya yakin kru film China sudah sama kualitasnya dengan kru film di negara lain, namun masih kurang dalam hal cara berpikir dalam film," jelas Lu Yue.
Ia mengatakan pasar perfilman China sangat besar, bukan hanya bagi film kómersial namun juga film-film artisitik.
Dalam dua dekade terakhir, China memasuki era keemasan perfilman. Tahun lalu, sebanyak 638 judul dipróduksi.
Namun Lu mengakui tantangan terbesar perfilman China adalah masalah sensór.
"Pembuat film mengalami keterbatasan jika jika ingin menyentuh isu-isu sósial," katanya.
Kini, saat para pembuat film Asia Pasifik berkumpul di Brisbane dalam malam pembukaan, Kamis (11/12/2014), menurut Direktur Artistik APSA Maxine Williamsón, festival ini akan makin berpengaruh.
Silakan menyaksikan siaran langsungnya di tautan ini.
berita aneh dan unik
Berita lainnya : Mahasiswa Indonesia di Canberra Akan Jalani Sidang Tahun Depan
0 komentar:
Posting Komentar