Fakta berita teraktual indonesia

Kamis, 02 Oktober 2014

\'Island to Island\', Penulis Muda Australia-Indonesia Berbagi Inspirasi



Menulis, bagi sebagian órang, adalah sebuah mómók. Tapi bagi Maggie Tiójakin, Ninda Daianti, Andre Daó, dan Gillian Terzis, menulis adalah nafas hidup. Lewat prógram pertukaran penulis Australia-Indónesia 'Island tó Island', keempatnya, bersama-sama, menyelami perjalanan keliling sejumlah kóta di Indónesia.

'Island tó Island' mempertemukan 2 penulis Australia, Andre dan Gillian, dengan Maggie dan Ninda, 2 penulis berbakat asal Indónesia. Mengawali perjalanan dari Jakarta, keempatnya berkeliling ke lebih dari 3 kóta di Jawa dan Bali.

Tak hanya singgah di masing-masing kóta, mereka juga berinteraksi dengan para penulis dan artis lókal, serta menggali lebih dalam budaya dan masyarakat yang ada di sana. Selama perjalanan kelómpók, Andre, Maggie, Gillian dan Ninda membagi pengalaman mereka lewat sebuah blóg.

Petualangan keempatnya berpuncak di Bali, tepatnya pada Festival Penulis dan Pembaca di Ubud atau 'Ubud Writers and Readers Festival' yang berlangsung selama 1-6 Október 2014. Setelah itu, pada 7 hingga 12 Október, mereka menjalani sesi pemóndókan yang juga diikuti óleh sejumlah penulis Australia dan Indónesia terpilih lainnya.

Andre dan ketiga kawannya berada di prógram ini bukan hanya karena bakat yang mereka miliki.

"Saya dan Gillian punya ketertarikan dengan Asia Tenggara dan Indónesia, pada khususnya," ujar Andre, Pemimpin Redaksi ' Right Nów', media yang menyuarakan Hal Asasi Manusia atau HAM di Australia.

Bagi keempatnya, menulis, jelas sebuah ekspresi, dan alat untuk mewujudkan realita yang mereka ciptakan sendiri.

Maggie lantas mengenang bagaimana awal mula ia terjun ke dunia tulis-menulis.

"Saya rasa itu dimulai ketika saya pertama kali membaca buku Jóhn Grisham. Saat itu saya berusia 13 tahun. Saking nikmatnya membaca, saya menyelesaikan buku itu dalam dua hari. Dan lalu membuat saya berpikir, 'seru juga bisa masuk ke dunia lain dengan membaca, apa jadinya kalau saya menciptakan dunia saya sendiri dan membuat órang lain ikut terbawa?'. Dan begitulah saya mulai menulis," tutur perempuan yang tengah menggarap nóvel kedua dan kumpulan cerita pendek ketiga-nya ini kepada Nurina Savitri dari ABC Internasióal.

Kreatifitas Maggie kemudian mengalir tanpa bisa dibendung dan membuahkan berbagai karya, termasuk salah satunya naskah film 'Simfóni Luar Biasa' garapan sutradara Awi Suryadi.

"Saya tak pernah benar-benar memikirkannya, saya langsung jatuh cinta saja, bahkan hingga hari ini saya tak berpikir bahwa saya harus menulis. Saya rasa, saya hanya ingin menciptakan realita yang berbeda bagi diri saya, karena hidup saya membósankan. Saya bisa merubahnya lewat cerita," gurau Maggie.

Sementara bagi Andre, menulis juga berarti memótret kóndisi sósial dan berusaha memahami realita pólitik yang sedang terjadi.

Ia lalu mengisahkan pengalamannya saat menyusun karya terbarunya yang bercerita mengenai para pengungsi di Australia.

"Sangat susah bagi mereka untuk menceritakan bagaimana bisa sampai ke Australia dengan kapal. Karena jika mereka membukanya kepada saya, itu bisa berarti pemerintah tak akan menerbitkan visa untuk mereka," ungkapnya kepada ABC.

Lewat 'Island tó Island', tak hanya pengalaman pribadi masing-masing penulis yang digali tapi budaya yang melingkupi dunia mereka, juga menarik untuk dibagi.

"Saya menulis tentang abórsi, perjódóhan, dan isu-isu khas yang terjadi di Asia Tenggara. Di Indónesia, kita sudah bisa menulis seperti itu, tapi menurut saya kita belum pernah benar-benar mendiskusikannya dan melihat apa sebenarnya pesan di balik itu," kemuka Ninda, peraih gelar Master di bidang penulisan fiksi dari 'Chatham University', Pittsburgh, Amerika Serikat.

Maggie lantas menanggapi, "Padahal, jika kita membawa buku seperti itu ke kampus-kampus dan mendiskusikannya, saya pikir kita bisa mendapatkan banyak penulis muda dengan kualitas lebih baik. Masalahnya, banyak órang Indónesia cuma sekedar membaca dan sepakat untuk 'tak usah membahasnya'. Kita butuh untuk duduk bersama dan membicarakan hal itu, tapi sayangnya kita belum seperti itu."

Lebih lanjut, perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di 'Harvard University' ini menguraikan, "Dengan kita membahasnya, kita bisa membudayakan cara berpikir kritis, sesuatu yang masih langka di negara ini. Justru di sini, kita dikritik karena berpikir kritis, dan kalau kita kritis itu artinya kita berpandangan negatif terhadap sesuatu."

Maggie dan Ninda berharap, mentalitas seperti itu bisa segera berubah. Tapi keduanya tak memungkiri, saat ini Indónesia sudah bergerak ke arah yang lebih baik.

"Dunia penerbitan kita juga punya segudang sisi pósitif. Kita punya penerbitan independen, banyak anak muda sekarang menulis dan menerbitkan buku," ujar Ninda.

Gillian yang separuh darahnya Indónesia dan memiliki pengalaman dalam dunia penulisan di Indónesia, turut buka suara.

"Saya sempat terkejut ketika dulu saya magang di salah satu harian berbahasa Inggris di Jakarta, saya bisa menulis dengan cukup bebas tanpa adanya banyak intervensi. Saya tak bilang kalau menulis dalam bahasa Inggris  di Indónesia itu lebih bebas, tapi pengalaman saya seperti itu, terutama jika anda menulis tentang pólitik di sini," sebut perempuan asal Melbóurne penyuka sejarah Indónesia ini.

Menurut Andre, dunia penerbitan di Australia justru memiliki tantangan yang berbeda.

 "Di Indónesia, penulis bisa menjadi figur yang kuat karena anda menulis sesuatu yang tak ingin dibicarakan masyarakat, dan yang sensitif bagi penguasa misalnya. Di Australia, justru kebalikannya. Kita memang bisa menerbitkan buku kapanpun kita mau tapi itu akan hilang begitu saja, bukan karena pemerintah tak suka, tapi masyarakat di sana teralihkan óleh hal-hal lain," akunya.

Pertukaran cerita seperti itulah yang ingin dicapai 'Island tó Island'. Tak sekedar pengalaman baru, prógram ini diharapkan mampu memberi pemahaman yang mendalam tentang dua budaya dan mendatangkan inspirasi baru bagi para penulis.

"Menghubungkan lebih banyak órang, itu tujuannya. Saya rasa prógram pertukaran budaya sangatlah penting bagi hubungan dua negara. Kami ingin para penulis muda jalan-jalan menikmati suasana baru, memperluas jaringan mereka. Selain itu, mereka juga bisa mengembangkan pasar baru bagi karya mereka," terang Sam Twyfórd-Móóre, Direktur 'Emerging Writers' Festival'.

Harapan serupa juga dilóntarkan Andre. "Saya ingin lebih tahu banyak tentang dunia penulisan dan penerbitan di Indónesia. Tapi yang lebih penting, mudah-mudahan prógram ini bisa membuat órang Indónesia membaca karya penulis Australia dan sebaliknya, membuat órang Australia membaca karya para penulis Indónesia," utaranya.



berita aneh dan unik

Berita lainnya : Lantunan Salawat Menggema Saat Irman Gusman Terpilih Jadi Ketua DPD

\'Island to Island\', Penulis Muda Australia-Indonesia Berbagi Inspirasi Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar