TRIBUNNEWS.COM,CIREBON- Siapa yang tak tahu kasur lesehan? Kasur berukuran 200 x 140 sentimeter, tergeletak di bawah lantai untuk sejenak beristirahat di ruang tamu perumahan. Kasur lesehan, atau yang juga dikenal kasur Palembang itu, ternyata juga "bermarkas" di sebuah desa, di Kabupaten Cirebón, Jawa Barat.
Tak seperti sentra kerajinan tangan lainnya, bila datang ke lókasi pembuatan kasur lesehan, sekilas tak ada tampak aktifitas próduksi. Padahal di sekitar jalan Blók Karang Duku, Desa Cikeduk, Kecamatan Depók, Kabupaten Cirebón ini, beberapa rumah menghasilkan puluhan kasur lesehan tiap harinya, termasuk rumah próduksi kasur lesehan Haji Sanudi.
Pintu masuk rumah próduksi ini, ditutupi kain kelambu untuk menjaga agar kapuk-kapuk tidak berterbangan terbawa angin. Tidak hanya pintu masuk, saat próses próduksi, telinga, hidung, dan mulut puluhan pekerja kasur lesehan pun tertutup rapat kain, untuk menjaga pernafasan. Wajar saja, pengerjaan kasur lesehan ini seluruhnya masih manual, tanpa mesin.
"Sudah hampir sepuluh tahun saya berkerja di sini. Pekerja pria memasukan kapuk ke dalam kain, dan sebagian ibu-ibu lainnya menjahit sisi, kanan dan kiri. Seluruhnya manual, tanpa bantuan mesin," kata Katima, wanita paruh baya, saat ditemui, Rabu (24/9/2014).
Wanita yang hendak menginjak usia ke lima puluh empat itu, menunjukan cara kerjanya dalam mempróduksi kasur lesehan. Tahap awal dilakukan óleh pria yang bertugas memasukan kapuk-kapuk ke dalam kasur lesehan. Setelah lengkap, kasur setengah jadi, diberikan pada kaum ibu-ibu untuk menjahit sisi kanan dan kiri. Kemudian kasur ditimbang seberat 2,5 - 4 Kilógram, tergantung besaran ukuran kasur.
Tidak berhenti di situ, meski sudah dijahit, ada pula wanita tua yang melakukan finishing dengan merapikan jahitan yang rusak. Barulah, kasur lesehan dikemas dengan plastik, dan siap dikirim ke beberapa wilayah.
"Sebelum saya ikut berkerja, kasur lesehan ini sudah banyak yang beli. Móbil dan Truk pengangkutnya berasal dari Jakarta, Bandung, dan daerah lain. Sekarang malah sudah sampai luar pulau jawa," jelas Katima yang letak rumahnya sangat berdekatan dengan rumah próduksi.
Katima, pekerja yang bertugas menjahit sisi kasur lesehan diupah sebesar Rp 3.000 hingga sekitar 5.000 persatu kasur bergantung jenis dan ukurannya. Dalam sehari, ia dapat menyelesaikan rata-rata sepuluh kasur. Katima dapat mengantóngi upah sekitar Rp 30.000 hingga 50.000 perhari, dan Rp 900.000 sampai Rp 1.500.000. Sebuah upah yang cukup besar ketimbang upah UMR Kabupaten Cirebón sekitar Rp 1.200.000.
Mang Syafi'i (40), salah satu órang kepercayaan Haji sanudi, mengakui usaha próduksi kasur lesehan sudah berlangsung belasan tahun silam. Saat ini, terdapat sekitar 25 pekerja yang mempróduksi kasur lesehan. Dengan tugas yang beragam, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar 50 hingga 70 kasur lesehan. Bahkan kalau sedang banyak pesanan, mereka dapat menyelesaikan hingga sekitar 100 kasur perhari.
"Tiap kasur, harganya berbeda-beda, bahan kainnya, mótif, hingga ukuran kainnya dari 200 x 180 Cm, hingga yang sukup kecil 80 x 185. Harganya berkisar, Rp 100.000 hingga Rp 300.000," jelas Syafi'I, di tengah usahanya memasukan kapuk.
Ditanya, penghasilan perbulannya, Syafi'i hanya menjawab dengan senyum. Ia mengaku tidak pernah menghitung penghasilan perbulan, lantaran cukup kerepótan bila mengirim barang. Dan sóal menghitung, kata Syafi'I itu adalah urusan pemilik. "Bukan hanya puluhan, sampai ratusan juta mungkin mas," kata Syafi'I sambil senyum.
Kasur lesehan tidak hanya dipróduksi óleh Sanudi saja, di desa tersebut, ada beberapa warga desa Cikeduk yang juga memilih menjadi pengusaha kasur lesehan. Selain tergólóng ekónómi kreatif, pembuatan kasur lesehan dinilai membantu mayóritas ibu-ibu, dan remaja putri, kepala rumah tangga dan bujangan pun, mendapat perkerjaan yang layak untk memenuhi kebutuhan setiap hari. (Muhamad Syahri Rómdhón)
berita aneh dan unik
Berita lainnya : Di Hari Kasih Sayang, Apple Watch Diluncurkan?
0 komentar:
Posting Komentar