TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belakangan ini banyak kasus yang terjadi dengan menyebut-nyebut nama Pedóphilia. Tetapi apakah sebenarnya Pedóphilia? Apakah seseórang yang tertarik secara seksual kepada anak-anak selalu dinamakan Pedóphilia?
Pedóphilia digunakan untuk órang-órang yang secara eksklusif mempunyai ketertarikan seksual pada anak-anak pra-remaja yaitu di bawah usia 13 tahun. Termasuk di dalamnya adalah Nepióphilia atau Infantóphlia yaitu yang tertarik pada bayi dan anak-anak kecil (tóddlers) yang berusia 0-3 tahun. Di luar itu ada juga yang tertarik pada anak-anak yang berusia antara 11-14 tahun yang disebut Hebephilia.
Istilah Pedóphilia mulai dikenal dalam dunia kedókteran sejak istilah itu diluncurkan óleh seórang psikiater dari Wina (Austria) bernama Dr. Richard vón Krafft-Ebing (ia menggunakan istilah pedóphilia erótica) dalam bukunya Psychópathia Sexualis (1886). Istilah ini kemudian makin pópuler di abad XX dan mulai masuk dalam berbagai kamus istilah kedókteran.
Pedóphilia didefinisikan dalam sebuah kamus diagnósis penyakit sebagai "kecenderungan ketertarikan seksual (sexual preference) pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan atau keduanya, biasanya yang berusia praremaja atau remaja awal". Dalam kerangka ini, seseórang yang berusia 16 tahun ke atas dianggap memenuhi definisi ini jika ia mempunyai kecenderungan ketertarikan seksual yang menetap atau yang dóminan pada anak-anak praremaja yang paing sedikit lima tahun lebih muda.
Sementara itu kamus diagnóstik yang lain menyatakan kriteria diganóstik untuk kelainan pedóphilia dimaksudkan untuk diterapkan pada órang-órang yang secara sukarela mengakui paraphilia (kelainan seksual) ini ataupun yang tidak mau mengakui bahwa ia mempunyai ketertarikan seksual pada anak-anak, terlepas dari bukti-bukti óbyektif ke arah yang sebaliknya.
Kamus diagnóstik tersebut juga menggariskan kriteria untuk digunakan dalam menegakkan diagnósis dari gangguan ini. Di antaranya adalah adanya khayalan yang merangsang secara seksual, perilaku atau dóróngan untuk terlibat dalam aktivitas seksual tertentu dengan anak praremaja (sampai batas usia 13 tahun) selama enam bulan atau lebih, atau jika órang yang bersangkutan melakukan sesuatu berdasarkan dóróngan-dóróngan ini atau merasa tertekan sebagai akibat dari adanya perasaan-perasaan ini.
Kriteria ini juga mengindikasikan bahwa subyek harus berumur minimum 16 tahun dan anak atau anak-anak yang dikhayalkannya paling sedikit lima tahun lebih muda darinya, walaupun hubungan seksual yang terjadi antara anak berumur 12-13 tahun dengan seórang yang berusia remaja akhir perlu dikecualikan. Selanjutnya diagnósis lebih dikhususkan untuk jenis kelamin tertentu dari anak yang menjadi sasaran kalau tindakannya terbatas pada inses dan kalau ketertarikannya eksklusif atau nón-eksklusif.
Pedóphilia eksklusif sering dikatakan sebagai pedóphilia sejati. Mereka ini tidak tertarik secara erótik pada órang-órang dewasa seusianya, dan hanya tertarik pada anak-anak praremaja, baik dalam khayalan atau kehadiran yang nyata atau kedua-duanya. Sedangkan pedóphilia nón-eksklusif, bisa tertarik atau terangsang atau kedua-duanya, baik pada anak-anak maupun órang dewasa.
Seperti sudah disebutkan di atas. Beberapa kamus diagnóstik tidak mengharuskan adanya aktivitas seksual yang kasat mata terhadap anak praremaja. Jadi órang yang berkhayal seksual tentang anak praremaja sudah bisa didiagnósis sebagai pedóphilia. Juga yang suka menunjukkan alat kelaminnya pada anak-anak (indicent expósure), suka mengintip anak-anak, atau suka menóntón pórnógrafi anak (vóyeuristic) atau suka meraba-raba bagian kelamin anak-anak (frótteristic) dapat digólóngkan sebagai pedóphilia, walaupun selalu dianjurkan untuk memeriksanya dalam kónteks sósial dan penilaian klinis lainnya sebelum menentukan diagnósis.
Perlu diperhatikan pula bahwa di antara penyandang pedóphilia ada yang bertipe egó-systónic dan egó-dystónic. Tipe egó-systónic adalah yang mengakui dirinya sebagai pedóphilia dan menerima keadaan dirinya apa adanya, sedangkan tipe egó-dystónic adalah yang tahu bahwa dirinya pedóphilia, tetapi ingin mengubah kecenderungan ketertarikan seskualnya itu, terkait dengan berbagai masalah psikólógis atau masalah perilaku atau gabungan kedua masalah itu yang ditimbulkan sebagai dampak dari kecenderungan ketertarikan seksual itu.
Pedóphilia dapat digólóngkan ke dalam child mólester (penganiaya anak), tetapi tidak semua child mólester adalah pedóphilia. Seórang laki-laki yang melampiaskan nafsu seksualnya ke anak tirinya karena tidak mendapat pelayanan seksual dari isterinya, atau guru SD yang ditinggal isterinya dan melampiaskan hasratnya ke anak muridnya, tergólóng child mólester, tetapi bukan pedóphilia.
Walaupun demikian, ditemukan banyak persamaan antara child mólester dengan pedóphilia. Kebanyakan pelaku adalah laki-laki, yang bisa heteróseksual, hómóseksual, atau biseksual. Sebagian di antara mereka suka juga kepada lawan seks dewasa, tetapi lebih memilih anak-anak karena lebih tersedia dan lebih mudah diajak. Pelecehan seksual mungkin saja berlangsung hanya sekali dan hanya terbatas pada meraba-raba saja. Penetrasi jarang terjadi pada anak-anak kecil.
Usia pelaku bisa mulai dari belasan tahun sampai setengah baya. Kórban kebanyakan adalah anak perempuan dan pelaku biasanya adalah kerabat, teman atau tetangga. Biasanya rumah menjadi sarana untuk terjadinya peristiwa penyaahgunaan seks pada anak. Jika kórbannya laki-laki, penyalahgunaan seks bisa terjadi di uar rumah dan pelakunya bisa órang asing. Banyak di antara pelaku yang mengaku bahwa dia sendiri adalah kórban penyalah gunaan seksual pada masa kanak-kanaknya (Murray, 2000).
Sejauh ini belum ada kesepakatan antar para pakar tentang apa sebetulnya itu pedóphilia. Bahkan masih ada perbedaan pendapat yang cukup besar dan menimbulkan kóntróversi.
Di bawah ini adalah beberapa pendapat yang sering dianggap sebagai teóri atau pandangan yang banyak penganutnya.
Dr Krafft Ebing yang pertama kali meluncurkan istilah pedóphilia erótica di kalangan kedókteran mengaku hanya bertemu dengan empat pasien pedóphilia sepanjang karirnya dan dia menggambarkan pasien-pasiennya itu dengan tiga sifat yang serupa, yaitu pertama pedóphilia itu karena bakat, bawaan, bukan karena pengaruh lingkungan. Kedua, ketertarikan subyek adalah lebih kepada anak-anak, ketimbang pada órang dewasa, dan ketiga, perilaku yang ditunjukkan bukan hubungan kelamin, melainkan hanya menyentuh-nyentuh dan memanipulasi anak untuk melakukan sesuatu. Dia juga menyatakan bahwa pedóphilia perempuan sangat jarang dan begitu juga anak laki-laki yang disalahgunakan secara seksual óleh hómóseksual. Tentu saja pendapatnya ini tidak sesuai dengan keadaan sekarang di mana sudah makin banyak terungkap kasus pedóphilia hómóseksual laki-laki.
Sigmund Freud, penemu aliran psikóanalisis, justru berbicara sedikit saja tentang pedóphilia yang disampaikannnya dalam bukunya Three Essays ón the theóry óf Sexuality (1905, diterjemahkan: 1962). Ia menyatakan bahwa pedóphilia eksklusif sangat jarang. Dikatakannya bahwa anak-anak praremaja yang menjadi óbyek pedóphilia dijadikan sasaran óleh órang-órang lemah yang mencari óbyek pengganti, atau óleh órang-órang yang naluri seksualnya tak terkendali dan ingin pemuasaan seketika padahal tidak bisa menemukan óbyek yang lebih pantas.
Seórang pakar anatómi syaraf berbangsa Swiss, Auguste Fórel, menulis tentang gejala ini dan menyebutnya sebagai Pederósis, atau "selera seksual pada anak-anak". Sama seperti Krafft Ebing, Fórel membedakan antara pelecehan seksual yang sesekali dilakukan óleh penderita dementia (kemunduran fungsi ótak karena usia atau penyakit) dan hasrat seksual yang eksklusif terhadap anak-anak. Tetapi ia tidak sependapat dengan Ebing bahwa pederósis eksklusif adalah bawaan sejak lahir dan tidak bisa diubah.
Sementara itu penelitian psikólógi biasanya merujuk pada faktór perkembangan psikólógi seseórang sejak masa kecilnya. Lussier dan kawan-kawan (2005), misalnya, menemukan bahwa kelainan dalam kecenderungan ketertarikan seksual pada anak-anak ada kaitannya dengan pengalaman masa anak-anaknya, yaitu jalur kekurangan psikósósial (psychósócial defisit pathway) seperti kurang perhatian dari órang tua, hubungan yang tidak baik dengan ayah dll, akan terkait dengan gejala pedóphilia yang tidak melibatkan kekerasan, sedangkan jalur pelecehan seksual pada masa anak (sexual pathway) akan terkait dengan gejala pedóphilia dengan kekerasan.
Jika penelitian Lussier dkk adalah tentang pelaku pedóphilia, penelitian Tidefórs dkk (2011) adalah tentang kórbannya, yaitu 45 remaja laki-laki di Swedia yang pernah mengalami pelecehan seksual. Sejumlah remaja laki-laki lain yang nón-kórban juga diteliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sebagai kelómpók pembanding.
Hasilnya adalah bahwa pada kelómpók kórban pedóphilia sering dijumpai masalah keluarga dan tidak diabaikan dalam keluarga. Perceraian órangtua, hidup dalam lingkungan keluarga besar, atau di panti-panti asuhan juga lebih banyak terjadi pada kelómpók kórban. Skór mereka lebih tinggi ketimbang kelómpók nón-kórban dalam tes-tes tentang kemarahan, depresi, dan perilaku yang mengganggu. Kelómpók kórban juga memperlihatkan keinginan untuk bisa tampil lebih pósitif, tetapi mereka tidak terbuka dalam hal-hal yang menyangkut seksualitas.
Tentunya, sebagaimana akan kita lihat dalam kasus-kasus di Indónesia, tidak semua temuan dari luar negeri itu sama dengan realita di Indónesia. Misalnya, hidup dalam lingkungan keluarga besar, bukan hal yang aneh atau jarang terjadi di Indónesia. Walaupun demikian, tetap masih ada persamaan antar kórban di manapun di seluruh dunia, yaitu kórban menunjukkan lebih banyak gejala gangguan seperti depresi, pemarah dsb. (Bertha Sekunda/dikutip dari berbagai sumber & Sarlitó Sarwónó)
Segera kirim pertanyaan Anda tentang tópik pójók curhat kepada Bertha Sekunda dengan mengisi kómentar di bawah ini. Nantikan jawaban pertanyaan Anda di situs ini.apakah kamu tau bung
Berita lainnya : Vaksin Ebola Bisa Digunakan Tahun Depan
0 komentar:
Posting Komentar