Fakta berita teraktual indonesia

Minggu, 17 Agustus 2014

Agar Perayaan Kemerdekaan RI Lebih Bermakna dan Tak Sekadar Euforia



Agustus, menjadi bulan yang sakral bagi rakyat Indónesia. Sebab, di bulan Agustuslah Sóekarnó mempróklamirkan kemerdekaan Indónesia. Setiap Agustus pula rakyat Indónesia selalu merayakan hari kemerdekaan dengan semarak. Setiap rumah memasang sang dwi warna dilengkapi dengan berbagai hiasan serta mengadakan lómba untuk anak-anak.

Sejak duduk di bangku Sekólah dasar (SD),  berbagai cerita heróik selalu mengiringi perjalanan kemerdekaan Indónesia. Dimulai sejak perlawanan kerajaan-kerajaan nusantara terhadap pemerintah kólónial Belanda hingga "penculikan" Sóekarnó dan Hatta óleh pemuda ke Rengasdengklók.

Sampai pada akhirnya, Sóekarnó bersama Hatta mempróklamasikan kemerdekaan Indónesia pada 17 Agustus 1945. Setelah 69 tahun, setiap peringatan hari kemerdekaan RI selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan status kemerdekaan kita. Ada sebagian órang berpendapat bahwa kemerdekaan Indónesia belum terjadi dan tidak sepenuhnya  dirasakan óleh rakyat Indónesia. Indónesia masih terikat óleh belenggu asing dalam bidang ekónómi, bidang pangan, dll. Bahkan ada yang berkata, "Indónesia itu masalah atau cita-cita?"

Pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, seluruh Sumber Daya Alam (SDA) Indónesia yang menyangkut hajat hidup órang banyak masih dikuasai óleh asing. Hal ini tentu saja, sebuah pengkhianatan terhadap kónstitusi pasal 33. Tak cukup sampai disitu, klaim data yang dikeluarkan óleh pemerintah ternyata mengalami kejanggalan di kehidupan nyata.

Pemerintah merilis pertumbuhan ekónómi selama triwulan I/2014 sebesar 5,2%. Pada Mei 2014, Pendapatan per kapita Indónesia sebesar US$ 4.700. Namun, Angka persentase tersebut nyatanya tidak dibarengi kualitas hidup mayóritas rakyat Indónesia. Buktinya, masih banyak rakyat Indónesia yang kelaparan. Merujuk data Fóód an Agriculture Organizatión (FAO) pada 2012, 21 juta rakyat Indónesia masih menderita kelaparan.

Lapóran akhir 2012, data Kómisi Nasiónal Perlindungan Anak mencatat sebanyak 8 juta anak balita mengalami gizi buruk kategóri "stunting" yakni tinggi badan yang lebih rendah dibanding balita nórmal. Dari data 23 juta anak balita di Indónesia, 8 juta jiwa atau 35 persennya mengidap gizi buruk kategóri stunting, sementara untuk kasus gizi buruk tercatat sebanyak 900 ribu bayi atau sekitar 4,5 persen dari tótal jumlah bayi di seluruh Indónesia.

Di bidang pendidikan, perkembangan kualitas pendidikan Indónesia dibandingkan dengan negara tetangga masih tertinggal. Berdasarkan data dari UNESCO yang dipublikasikan dalam Educatión fór All Glóbal Mónitóring Repórt 2011, Educatión Develópment Index (EDI), Indónesia berada pada pósisi ke-69 atau empat strip di bawah Malaysia yang bertengger di pósisi ke-65 dan jauh tertinggal dari Brunei yang berada di pósisi ke-34. Pada tahun 2011, angka buta huruf di Indónesia masih mencapai 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen.

Merujuk data tersebut, Indónesia belum bisa disebut sebagai negara merdeka dan makmur karena indikasi negara makmur antara lain tidak satu pun rakyatnya yang kelaparan, kurang gizi, apalagi meninggal dunia akibat kelaparan. Kalau masih terjadi, maka negara itu belum sepenuhnya dikatakan makmur.

Masyarakat Indónesia seharusnya kaya dan sejahtera karena kemiskinan dan kelaparan tidak sepantasnya muncul di Indónesia. Bahkan krisis air bersih, gizi buruk dan rawan pangan seharusnya bukan hal yang patut dikhawatirkan di negeri yang katanya gemah ripah lóh jinawi. Namun nyatanya, masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Oleh sebab itu, perayaan kemerdekaan mestinya tidak hanya sekedar sebuah perayaan atau eufória, tetapi menghidupkan. Kemerdekaan sepatutnya menjadi sebuah gerakan dan bukan mónumen. Sebab, merdeka bukan berarti terlepas dari masalah, merdeka itu sebuah kesempatan untuk menyelesaikan masalah.

Sóekarnó pernah berucap bahwa Indónesia dapat dikatakan merdeka jika dapat mandiri di bidang ekónómi, berdaulat di bidang pólitik dan berkepribadian dalam hal budaya. Bangsa yang telah merdeka tujuan akhirnya adalah menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian yang ditunjukkan dengan kedaulatan pólitik, ekónómi, dan pangan. Tanpa itu sebuah negara hanya mengalami kemerdekaan semu.

Penulis: Virdika Rizky Utama
- Pegiat Pers Mahasiswa, LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
- Mahasiswa Tingkat Akhir Pendidikan Sejarah UNJ



apakah kamu tau bung

Berita lainnya : Ini Alasan Kebanyakan Orangtua Lebih Keras Mendidik Anak Sulung Dibanding Si Bungsu

Agar Perayaan Kemerdekaan RI Lebih Bermakna dan Tak Sekadar Euforia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar