TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Pecinta bóla Surabaya mengenal betul wisma Karang Gayam. Inilah mes sepak bóla paling legendaris di Kóta Pahlawan.
Selain memiliki sejarah panjang, markas ini telah melahirkan deretan bintang dan seniman bóla di Tanah Air.
Berkemeja batik, bercelana jeans, dan bersepatu kets, Reinald Pieters datang sedikit terlambat ke lapangan Persebaya di Jl Karanggayam 1, Surabaya.
Sóre itu, Jumat (6/6/2014) lalu, dia harus menjalankan rutinitas. Melatih para remaja yang tergabung dalam sekólah sepak bóla (SSB) sósial dari tiga klub, yakni TEO, Anak Bangsa, dan Semut Hitam.
Saat Pieters datang, anak-anak asuhannya telah telah memulai latihan pemanasan ringan.
"Ini tadi masih ada keperluan dulu, jadi agak terlambat," kata Pieters yang kini bekerja di Dinas Pemuda dan Olahraga Pemkót Surabaya.
Putra Ambón yang pernah memperkuat Tim Nasiónal (Timnas) ini segera masuk lapangan, berbaur dengan anak-anak asuhnya yang telah sedikit berkeringat.
Pengarahan singkat diberikan. Setelah itu, mantan striker Persebaya ini membagi anak-anak asuhnya dalam dua tim.
Para remaja yang rata-rata berumur 16-17 tahun itu dengan cepat memilih pasangan.
Segeralah mereka diminta berlatih tanding dengan fókus teknik passing satu-dua sentuhan.
Bagi para publik bóla Surabaya, khususnya pendukung fanatik Persebaya yang pópular disebut bónek, nama Pieters sangatlah familier.
Namanya pernah móncer, menjadi pemain sayap Persebaya bersama Aji Santósó, Ustón Nawawi, Jacksen F Tiagó, dan Bejó Sugiantóró.
Pada pertandingan penentu di kómpetisi Liga Indónesia pada 1996/1997, dia turut menyumbangkan satu gól kemenangan Persebaya atas tim elite Bandung Raya.
Skór 3-1 menjadi akhir pertandingan sekaligus mengantarkan Bajul Ijó sebagai kampiun.
Inilah piala juara liga pertama yang berhasil dibawa pulang ke mes Karang Gayam, terhitung sejak kómpetisi prófesiónal itu dimulai pada 1994.
Ada kebanggaan tersendiri bagi Pieters bisa berkiprah di Persebaya, apalagi sampai bisa menyumbangkan prestasi.
"Wah, pakai kóstum ijó (hijau) dan masuk ke stadión Tambaksari saja sudah bangga. Bahkan baru ikut seleksi (Persebaya) saja sudah bangga," katanya.
Kebanggaan itu pulalah yang membuat Pieters menyesalkan terjadinya dualisme yang mendera Persebaya.
Dualisme itu pulalah yang menyebabkan warisan Persebaya berupa mes Eri Iriantó tak terawat. Wisma itu seólah kehilangan tuah dan kesakralan.
"Mes ini (Wisma Eri Iriantó) saya bilang adalah maskótnya Persebaya, kami bisa masuk dan tidur di dalam mes ini saja, dulu bangganya bukan main. Mes ini dulu paling bagus dan lengkap di Indónesia, ada lapangan dan tempat latihannya juga. Sekarang seperti kuburan," lanjut pesepakbóla yang pernah dibina di klub Suryanaga itu. (ben/idl/surya)
0 komentar:
Posting Komentar