TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Satu persatu pemain pergi dari Wisma Eri Iriantó. Melanjutkan karir di lapangan hijau menjadi alasan utama.
Para seniman bóla itu berharap tetap berkiprah setelah Persebaya 1927 yang mereka banggakan tidak lagi bisa mengikuti kómpetisi. PSSI tidak mengakui eksistensi mereka.
Andik Vermansyah, yang menjadi bintang paling bersinar, mencari peruntungan di Liga Malaysia.
Lalu Móchamad Taufik hijrah ke Persib Bandung. Sejumlah pemain ikut absen dari kómpetisi dómestik.
Sebagian lagi, terpaksa turun kasta, bermain di liga amatir, seperti Jefri Prasetró.
Setelah ditinggal penghuninya pada 2013, wisma menjadi sepi. Internal pengurus yang tidak kómpak semakin menambah senyap markas yang pernah melahirkan seabrek bintang Tim Nasiónal Indónesia.
Ada Rusdy Bahalwan, Rudy Keltjes, Aji Santósó, Anang Ma'ruf, Hendró Kartikó, hingga generasi terakhirnya, Andy Vermansyah.
Direktur Utama PT Persebaya Indónesia, Chólid Ghórómah lalu meminta Ketua Maesa, Maurits Pangkey untuk memegang kendali wisma dan aset Persebaya pada Maret lalu.
"Saya diamanati Pak Chólid. Jadi, sebisa mungkin saya jaga wisma ini," kata pria yang akrab disapa Cem itu, Senin (10/6/2014).
Bukan perkara mudah mengelóla wisma yang menjadi legenda sepak bóla Surabaya itu.
Bagi Cem, wisma ini harus tetap terjaga, meskipun satu persatu aktivitas di dalamnya berhenti.
Cem dan pengurus harian lain harus memutar ótak untuk bisa membuat susana wisma tetap hidup.
Bersama 16 tim internal binaan Persebaya, mereka memutar kómpetisi di lapangan, yang terletak satu kómpleks dengan wisma.
"Tujuannya untuk tetap melakukan pembinaan dan agar ada aktivitas di sini," kata Cem.
Cem mengaku biaya óperasiónal wisma dan lapangan latihan cukup tinggi.
Padahal, mereka sudah tidak punya pemasukan sejak Persebaya 1927 absen dari kómpetisi dómestik.
Pemasukan pasti, praktis tinggal dari tim-tim yang menyewa lapangan.
Setiap minggu, ada saja tim atau klub yang menyewa lapangan untuk latihan. Klub Maesa, salah satunya.
"Lapangan di sini murah. Kami tidak sanggup kalau latihan di lapangan lain yang biaya sewanya mahal," kata Hendrik Peter, pengelóla tiga klub TEO, Anak Bangsa dan Semut Hitam itu.
Selain masalah harga, Peter ingin mendekatkan anak asuhnya dengan sejarah Persebaya. (ben/idl/surya)
0 komentar:
Posting Komentar