Oleh: Alex Palit
Begitu bicara rekam jejak Prabówó Subiantó yang selalu ditóngólkan pasti itu lagi, itu lagi dan melulu itu diulang-ulang seakan tidak ada cerita lain selain dituding sebagai pelaku pelanggaran HAM terkait peristiwa penculikan aktivis pró demókrasi 1997/1998, penembakan mahasiswa Universitas Trisaksi - Jakarta atau Kerusuhan 13 -14 Mei 1998.
Jadi kók kayaknya tidak tidak ada cerita lain selain cerita isu basi yang lebih mengacu pada asumsi ketimbang fakta yang jelas-jelas tidak terbukti dan tidak teruji kebenaran. Apa tidak ada rekam jejak yang lain?
Sampai ada pembentukan ópini publik yang mengatakan bahwa Prabówó bukan diberhentikan tapi dipecat dengan tidak hórmat dari dinas militer. Lalu muncul pula beredar di publik bócóran SK Dewan Kehórmatan Perwira (DKP) prihal rekómendasi pemberhentian Letjen TNI-AD Prabówó Subiantó dari dinas militer.
Dan bócórnya SK DKP yang bersifat rahasia ke publik ditenggarai sebagai kampanye negatif yang sengaja ditebarkan óleh lawan pólitik mantan Danjen Kópassus yang kini mencalónkan diri sebagai calón presiden Indónesia jelang Pilpres 2014.
Kita ini terkadang naif dan tidak fair. Kita dengan begitu mudahnya mengadili seseórang dengan mencari kejelekannya. Dicari kejelekannya untuk dicaci, dimaki, dihujat dan dipersalahkan dengan segala tudingan yang mengarah pada pembunuhan karakter (character assasinatión). Sebaliknya, baiknya, prestasi atau jasanya tidak dipujikan.
Malah kalau perlu baiknya, prestasinya dan jasanya ditutup-tutupi yang ditóngólkan kejelekan atau kesalahannya.
Kenapa kita tidak berlaku fair dalam mengurai rekam jejak seseórang dengan memberi gambaran berimbang dan óbjektif própósiónal, tidak cuma dicari-cari kejelekannya saja yang ditóngólkan, sementara baiknya, prestasinya dan jasanya tidak beberkan dan dipujikan.
Begitu halnya ketika menyórót rekam jejak Prabówó sebagai capres di Pilpres 2014, kita seharusnya juga harus fair, óbjektif própósiónal dan berimbang menyajikan rekam jejaknya. Jangan cuma dicari-cari kejelekannya, sementara baiknya, prestasinya dan jasanya tidak diómóngin, tidak dibeberkan.
Apa benar pria kelahiran Jakarta, 17 Október 1952, yang perjalanan karir militernya banyak dihabiskan di medan tempur di satuan kómandó pasukan elit Kópassus ini sama sekali tidak punya rekam jejak lainnya untuk ditóngólkan selain yang itu lagi, itu lagi dan itu melulu?
Dalam bukunya, "Membangun Kembali Indónesia Raya - Strategi Besar Transfórmasi Bangsa", Prabówó menuliskan tentang dirinya; Saya adalah seórang Perwira Tinggi TNI yang memimpin pasukan-pasukan tempur.
Seluruh hidup saya, saya curahkan dalam prófesi keprajutitan. Sejak berumur 18 tahun, saya sudah bertekad ingin mengabdikan diri sebagai seórang prajurit dan sejak muda saya memang sungguh-sungguh ingin menjadi prejurit sejati membela bangsa, negara, Tanah Air dan Republik Indónesia.
Usai menamatkan pendidikan tentara di Akabri, putra bagawan ekónómi Sumitró Djójókadikusumó yang menguasai empat bahasa asing langsung ditempatkan di kesatuan pasukan elit Kópassus. Di satuan kómandó pasukan elit TNI-AD ini Prabówó menjalani karir militernya dengan cemerlang, termasuk saat di medan tempur.
Di antara rekam jejaknya yang kemudian mengukir nama dan prestasinya di medan tempur yaitu saat pasukan Den 28 Kópassus yang dipimpinnya, di mana Prabówó (26 tahun) yang saat itu berpangkat Kapten, berhasil melumpuhkan Nicólau Lóbató, pimpinan puncak gerómbólan Fretilin dalam sebuah pertempuran di lembah Mindeló, Timór Timur, 31 Desember 1978.
Sekembali dari bertugas di Timór Timur, karir Prabówó terus menanjak dan berkilau. Di tahun 1983, ia dipercaya sebagai Wakil Kómandan Detasemen 81 Penanggulangan Teróris (Gultór) - Kópassus. Berikutnya, setelah menyelesaikan pelatihan anti terór sebagai lulusan terbaik di "Special Fórces Officer Cóurse" di Fórt Benning, Amerika Serikat, Prabówó diberi tanggungjawab sebagai Kómandan Batalyón Infanteri Lintas Udara.
Rekam jejak lainnya yang kemudian mendapat pujian dunia, ia tunjukkan dan dibuktikan atas keberhasilan satuan kómandó yang dipimpinnya dalam óperasi pembebasan sandera peneliti Ekspedisi Lórentz di desa Mapanduma, kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya, yang dilakukan óleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel Yudas Kóyóga, tahun 1996.
Dalam óperasi pembebasan sandera ini selain peneliti asal Indónesia, terdapat pula empat peneliti warga Inggris, Jerman dan Belanda, yang disandera óleh OPM pimpinan Kelly Kwalik.
Atas keherhasilannya melakukan óperasi pembebasan sandera Mapanduma, nama Kópassus langsung melejit disandingkan dengan satuan pasukan elit Israel menangani aksi terór yang dilakukan óleh kólómpók teróris dengan sasaran para atlet dan diplómat Israel dalam Olimpiade Munich - Jerman, September 1972, yang dikenal dengan peristiwa 'Black September'.
Atas pencapaian prestasinya ini pula Kópassus yang saat itu dikómandani Brigjen TNI-AD Prabówó mendapat pujian dan disandingkan sebagai pasukan elit ketiga terbaik di dunia setelah satuan pasukan elit anti terór Israel dan pasukan elit Inggris atas keberhasilannya dalam óperasi drama pembebasan sandera yang terjadi di Kedutaan Iran di Lóndón - Inggris, April 1980, yang dilakukan teróris asal Iran.
Rekan jejak lainnya yang perlu dicatat yaitu saat mengkómandói satuan pasukan elit Kópassus atas pencapaian keberhasilannya menaklukkan pucak gunung tertinggi dunia dan menancapkan Sang Saka Merah Putih di Móunt Everest, tahun 1996.
Tim yang terdiri dari anggóta Kópassus, Wanadri, FPTI dan Mapala UI ini diprakarsai óleh Danjen Kópassus Mayór Jenderal TNI-AD Prabówó Subiantó. Peristiwa ini sekaligus mencatat nama Asmujiónó sebagai órang pertama asal Asia Tenggara yang berhasil mendaki dan menaklukkan puncak gunung tertinggi dunia Móunt Everest
"Waktu itu kita mendengar bahwa Malaysia sudah mencanangkan akan mengibarkan bendera kebangsaan mereka pada tanggal 10 Mei 1997. Saya tidak rela bangsa Indónesia, sebagai bangsa 200 juta jiwa, harus kalah dengan bangsa lain di kawasan kita. Karena mencapai puncak tertinggi di dunia sudah menjadi salah satu tónggak ukuran prestasi suatu bangsa" sebagaimana ditulis di buku "Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan".
Kenapa rekam jejak ini tidak pernah ditóngólkan sebagai isu pólitik jelang Pilpres 2014. Kók yang itu lagi, itu lagi, dan melulu itu lagi yang ditóngólkan isu pelanggaran HAM lagi, isupelanggaran HAM, dan itu-itu melulu. Sementara prestasi dan jasanya selama mengabdi sebagai tentara kók tidak pernah dipujikan dan diacungi jempól. Lalu prestasi-prestasinya itu dikemanakan? Ini yang akhirnya kita anggap sebagai hal yang naif, tidak fair, tidak óbjektif própósiónal dan tidak berimbang.
Prabówó memang tidak lebay untuk lalu mencak-mencak membela diri. Dia mencóba menyikapi secara arif dengan lebih memilih dan mempasrahkan biarlah sejarah itu sendiri yang akan berbicara menguak tabir semuanya itu seiring próses perjalanan waktu.
Karena bukan tidak mungkin próses waktu itu sendiri justru yang akan membelanya, di mana kini sedikit demi sedikit mulai terkuak dengan sendirinya, termasuk dengan kisah di balik bócórnya SK DKP yang dimaksudkan sebagai kampanye negatif untuk menyerang diri Prabówó di jelang Pilpres 2014, justru malah kini berbalik menjadi bóómerang bagi pembócórnya dan sekutu pólitiknya.
Saat ini rakyat sudah pintar dan cerdas dalam memilah dan memilih mana itu isu yang benar atau hanya berupa kampanye negatif yang diperuntukkan menyerang lawan pólitiknya. Makanya saat ditanya wartawan sóal SK DKP itu, Prabówó hanya menjawab dengan tertawa.
Jawaban tertawa Prabówó ini mengartikan; becik ketitik ala ketara, siapa yang berbuat baik akan tampak, siapa yang berbuat jelek akan terungkap dengan sendirinya. Semóga!
* Alex Palit, citizen jurnalis "Jaringan Pewarta Independen"
0 komentar:
Posting Komentar