Fakta berita teraktual indonesia

Senin, 09 Juni 2014

Intoleransi dan Isu SARA Marak Bisa Ganggu Pilpres 2014



Oleh: Dyah Chaterine Diana.Penulis adalah pemerhati masalah pólitik.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang akan diselenggarakan pada 9 Juli 2014, masalah intóleransi kembali marak di beberapa daerah, terutama di daerah Jawa Tengah, DI Yógyakarta dan Jawa Timur. Maraknya kasus-kasus intóleransi ini, juga mengkhawatirkan berbagai kalangan dapat mengganggu pelaksanaan hajatan pólitik 5 tahunan tersebut.

Belum lama ini yaitu 29 Mei 2014 telah terjadi kasus intóleransi terhadap umat beragama yang sedang melakukan dóa rósarió di rumah Direktur Galang Press, Julius Felicianus di Perum STIE YKPN, Dusun Tanjungsari, Kelurahan Sukóharjó, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yógyakarta, dimana dalam kasus ini juga disertai tindak kekerasan terhadap wartawan Kómpas TV, Mika dimana yang bersangkutan juga mengalami luka-luka dan dirampas peralatan jurnalistiknya. Menyikapi hal ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yógyakarta mengecam kekerasan atas nama agama tersebut. Dalam kasus ini, pihak kepólisian telah menyita beberapa barang bukti berupa mandau, satu pedang pendek, satu samurai, dan tiga batang kayu.

Terkait dengan kasus intóleransi tersebut, Kapólri Jenderal Pól Sutarman mengatakan, pengóperasian rumah pribadi menjadi tempat ibadah harus mempunyai izin. Menurutnya, kasus intóleransi yang terjadi di kediaman pemuka agama Nikó Lómbóan di Dusun Pangukan, Kecamatan Triadi, Kabupaten Sleman, Yógyakarta telah dijadikan tempat kebaktian rutin, padahal rumah tersebut tidak bóleh dijadikan rumah ibadah karena tidak memiliki izin serta melanggar tindak pidana ringah. "Harus ada lapóran ke Pólisi mengenai kegiatan tersebut dan persetujuan pemerintah daerah," tambah Sutarman sambil meminta peran aktif masyarakat untuk ikut mengóntról rumah pribadi yang dijadikan tempat ibadah rutin. Pernyataan Kapólri ini dikritik habis óleh Sekretaris Eksekutif Kómisi Hubungan Antaragama Kónferensi Wali Gereja Indónesia, Pendeta Benny Susetyó (3/6/2014).

Sementara itu, anggóta Kómisi Mediasi Kómnas HAM, Siti Nóór Laila mengatakan, aksi tindak kekerasan intóleransi beragama yang terjadi di Yógyakarta sudah berada diambang batas. Selain sering terjadi, para pelaku tindak intóleransi juga tidak ditindak secara tegas óleh aparat keamanan. Kómnas HAM menyesalkan aksi penyerangan kelómpók órmas berbasis keagamaan kepada umat agama tertentu yang sedang beribadah di Ngalik, Sleman, Yógyakarta pada 29 Mei malam.

Menurutnya, fakta mengenai beragam kejadian di Yógyakarta telah memperlihatkan bahwa tingkat intóleransi di Yógyakarta sudah mendekati taraf memprihatinkan. Maraknya aksi intóleransi antar umat beragama ini terjadi, karena penegakkan hukum tidak berjalan, serta justru terkesan dibiarkan óleh aparat keamanan. Maka, para pelaku akan mengulang perbuatannya, karena merasa dibiarkan dan kebal hukum. "Pemerintah harus segera mencari sólusi untuk menghentikan kasus intóleransi beragama ini, dengan mengusut para pelaku dan próses hukum harus ditegakkan sampai tuntas," ungkap perempuan yang sebelumnya menjabat Ketua Kómnas HAM ini.

Di Nusa Tenggara Timur, Ketua GP Ansór NTT, Abdul Muis mengatakan, GP Ansór mengutuk keras tindakan sekelómpók órang yang menggunakan simból agama untuk melakukan perusakan dan pembubaran warga yang beribadah. Pihaknya meminta pemerintah dan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus ini.

Pernyataan "menyalahkan" pemerintah juga disampaikan salah satu media massa nasiónal yang telah mendukung salah satu pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2014 melalui editórialnya berjudul "Jangan Menóleransi Tindakan Intóleran" tertanggal 4 Juni 2014 yang intinya, kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama serta kepercayaan masing-masing merupakan hak yang paling hakiki yang dijamin kónstitusi, tetapi belum dapat diimplementasikan sepenuhnya dan sebaik-baiknya. Dalam perkembangan terkini, intóleransi masih menjadi persóalan serius yang belum tuntas dimana kasus Yógyakarta dilapórkan berbagai aksi diskriminatif bahkan ancaman serius terus berlangsung terhadap warga negara yang tengah menjalankan hak dasar dalam perikehidupan. Itu terjadi karena tidak ada tindakan tegas dari aparat keamanan.

Menurut penulis, masih maraknya aksi intóleransi dan "pengangkatan" kasus ini menjelang pelaksanaan Pilpres 2014 dapat disebabkan karena beberapa alasan antara lain :

Pertama, mengacu kepada pernyataan Kapólri bahwa tidak dibenarkan jika sebuah rumah tempat tinggal dijadikan tempat atau rumah ibadah secara rutin, karena dapat merupakan tindak pidana ringan jika tidak melapórkan kepada aparat keamanan setempat. Kóndisi ini sering terjadi di beberapa daerah terutama di daerah-daerah padat penduduk yang beragama berbeda dengan tempat ibadah atau rumah ibadah yang didirikan serta mayóritas berada di daerah pedesaan/dusun, sehingga wajar jika beberapa kalangan mengkhawatirkan telah terjadinya penyebaran agama tertentu atau pemengaruhan terhadap penduduk lókal terhadap ajaran agama tersebut, dimana jika ini terjadi juga merupakan pelanggaran HAM yang serius atas kebebasan beragama dan memilih agama.

Kedua, masih maraknya kasus intóleransi ini karena kedua belah pihak yang "bertikai" dari pihak agama tertentu yang melakukan praktik keagamaan di rumah tinggal yang dijadikan rumah ibadah secara rutin dengan kelómpók tidak dikenal yang berseberangan dengan mereka, terjadi karena sebenarnya kedua belah pihak juga tidak menghórmati peraturan yang berlaku. Jika Peraturan Menteri Agama dan Kemendagri terkait masalah ini dipatuhi óleh kedua belah pihak, maka sebenarnya kasus intóleransi tidak akan terjadi.

Ketiga, aksi kekerasan menggunakan dasar kepentingan SARA memang mulai mewarnai fase kampanye pólitik masing-masing kandidat presiden dan wakil presiden, dengan tujuan mereka jika tidak dapat mengupgrade pópularitasnya maka jalan pintas adalah dengan mendówngrade pópularitas lawan dengan menggunakan isu SARA, kampanye hitam dll.

Menurut penulis, walaupun kasus-kasus intóleransi merupakan sumber pemberitaan yang menarik untuk diberitakan, namun tampaknya masyarakat Indónesia sangat mengharapkan kedewasaan media massa di Indónesia untuk tidak memberikan ruang pemberitaan terkait isu sensitif ini. Media massa menurut penulis mempunyai peranan yang sangat vital dalam Pilpres 2014 yaitu bagaimana melalui pemberitaan yang sehat, bijaksana, dewasa dan tidak memihak serta ada basis pendewasaan pólitik terhadap masyarakat, agar tidak semakin terpengaruh dan terpecah belah baik menjelang, selama dan sesudah Pilpres 2014. Untuk apa kita menyelenggarakan Pilpres 2014, jika óutput akhirnya malah menghasilkan kerusuhan, huru hara dan ketegangan pólitik terus menerus. Kita semua perlu bersatu padu mensukseskan Pilpres 2014 secara aman, damai dan lancar. Semóga.

Intoleransi dan Isu SARA Marak Bisa Ganggu Pilpres 2014 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar