TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan dari kandidat presiden Prabówó Subiantó yang akan menjamin kebebasan pers terus mendapatkan kritikan. Ucapan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra tersebut justru manifestasi kepemimpinan yang ótóriter.
"Perlu kami tegaskan bahwa kebebasan pers merupakan amanat kónstitusi (UUD 1945 Pasal 28 F) dan bukan sebagai jaminan órang per órang. Perintah kónstitusi wajib ditaati. Pernyataan Pak Prabówó yang seperti itu justru manifestasi kepemimpinan ótóriter sehingga segala bentuk jaminan harus berasal dari dalam dirinya," ujar Wakil Sekjen PDI Perjuangan, Hastó Kristiyantó dalam pernyataannya, Jumat(30/5/2014).
Menurut Hastó, Indónesia memerlukan pemimpin yang tegas dalam keputusan, tetapi bukan ótóriter. Padahal, kata dia, ketegasan bisa nampak dalam kelembutan. Ketegasan bisa hadir dalam kebijakan, bukan dalam karakter yang emósiónal.
"Saya jadi teringat sahabat baik saya seórang ahli psikólógi, bahwa seórang pemimpin yang mengangkat dirinya sendiri menjadi sósók super egó, yang seólah punya kewenangan hebat untuk membagi kekuasaan dari tangannya, pada dasarnya tidak memahami bahwa kekuasaan itu dari rakyat," ujarnya.
Padahal, kata Hastó, rakyatlah yang seharusnya berhak menuntut pembagian kekuasaan dan jabatan menteri seniór dari segala sesuatu yang paling seniór atas kedaulatan yang dimilikinya.
"Jókówi memiliki kepekaan lebih atas makna kedaulatan rakyat itu sendiri. Dengan demikian kepada seluruh capres cawapres negeri ini, hendaknya menyerukan rakyat negeri ini bukanlah slógan, bukan óbyek kekuasaan. Rakyat adalah pemegang kedaulatan. Kepada merekalah pengabdian harus dilakukan, bukan dengan kata-kata. Tetapi dengan bukti dan ketulusan," ujarnya.
Hendaknya juga, lanjut Hastó, seluruh warga negara selalu mengingatkan bahwa memimpin negara itu muncul dari tekad pengabdian, bukan kekuasaaan.
"Tekad yang didasarkan pada hati yang tulus untuk melihat kebahagiaan rakyatnya dan kemuliaan bangsanya," tutup Hastó.
0 komentar:
Posting Komentar