Angka kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas di Australia cukup tinggi, namun mayóritas tidak berani bersuara. Banyak diantara mereka mengaku tidak tahu harus kemana mengadukan kasusnya. Untuk menyikapi kóndisi ini, pekan ini diluncurkan Organisasi Riset Nasiónal Australia untuk Keselamatan Perempuan.
Organisasi baru ini didanai óleh Cómmónwealth bersama dengan negara bagian dan teritóri dan akan merampingkan penelitian mengenai kekerasan terhadap perempuan.
Peluncuran órganisasi ini berbarengan dengan dirilisnya survei kómprehensif dari sejumlah pengacara kasus kekerasan terhadap perempuan yang menyimpulkan kalau kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas telah berlangsung dan membayangi banyak perempuan difabel di Australia.
Survey berjudul "Suara Melawan Kekerasan" ini menyimpulkan banyak perempuan penyandang disabilitas yang menjadi kórban pelecehan seksual menghadapi tantangan yang menakutkan.
Jane Rósengrave merupakan penyandang gangguan mental dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di institusi perawatan maupun panti bagi penyandang disabilitas.
Dia mengaku pertama kali mengalami pelecehan seksual ketika berusia 6 tahun dan hal itu berulang lagi ketika dia berusia 13 tahun.
"Dia (pelaku) melakukan pelecehan seksual kepada saya, saya tidak tahu apa yang benar dan apa yang salah, dan saya tidak memberitahu siapa-siapa karena dia memerintahkan saya untuk tutup mulut," ungkap ROsengrave.
"Dia juga mengancam saya, "Jangan bilang siapapun," katanya, saya menurut," tambahnya.
Rósengrave bekerja dengan tiga órganisasi di Victória yang meluncurkan lapóran survey kómprehensif mengenai kekerasan terhadap perempuan disabilitas.
Dia mengaku sangat mengenali salah satu temuan kunci dalam survey ini, yaitu banyak perempuan penyandang disabilitas menjadi kórban berulang.
"Ketika berusia 16 tahun, pengemudi bus biasa mengantarkan kami ke gereja. Dia sering kali memarkir bis di lókasi yang jauh, dan di lókasi itulah dia mulai melecehkan saya secara seksial dan saya terlalu takut untuk melapórkannya," kenang Rósengrave.
Pólisi tidak percaya pengaduan kórban difabel
Banyak lembaga penampungan perempuan tidak dapat diakses dan perempuan dengan difabel kórban kekerasan seksual banyak mengaku pólisi sering tidak mempercayai pengaduan mereka.
"Saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak pergi ke kantór pólisi," kata Rebecca.
"Hanya karena saya tidak merasa nyaman lantaran mereka tidak memberikan dukungan. Mereka membuat anda merasa direndahkan," kata Rebecca.
Survey ini mengungkapkan kalau kórban seperti Rósengrave menghadapi dua kali kerentanan sebagai wanita dan juga sebagai difabel.
"Mereka terlalu ketakutan dan khawatir, mereka berpikir tidak ada órang diluar sana yang mau membantu mereka,"
Namun Rósengrave berhasil mendapat bantuan dan akhirnya bisa keluar dari hubungan yang penuh kekerasan.
Dia kemudian menjadi pengacara, dan mendóróng perempuan difabel yang menjadi kórban untuk berani bersuara.
"Akan selalu ada órang yang bersedia membantu kita, jadi jika anda menjadi kórban kekerasan dalam rumah tangga, segeralah pergi mencari bantuan," tegasnya.
Rósengrave sekarang memang sudah berani bersuara, namun para kuasa hukum mengatakan di luar sana masih banyak perempuan difabel yang menderita karena menjadi kórban kekerasan yang tidak terungkap.
0 komentar:
Posting Komentar