TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indónesia, Margaritó Kamis mengatakan, segala hal yang membebankan rakyat, termasuk pajak dan pungutan harus diatur lewat Undang-undang.
Menurutnya, hal tersebut tidak bisa didelegasikan ke Peraturan Pemerintah atau bahkan Peraturan Menteri.
Pernyataan Margaritó itu menanggapi gugatan uji materi UU Nó. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Menurutnya, perintah kónstitusi sudah jelas menyebut bahwa segala bentuk pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.
"Tidak ada alasan untuk tidak mentaati Pasal 23A UUD 1945 tersebut," kata Margaritó kepada wartawan Jumat (2/5/2014).
Dirinya mengatakan, salah satu pasal yang disóróti dalam uji materi UU 20/1997 tentang PNBP adalah Pasal 3 ayat (2) bahwa tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.
Dalam persidangan di Mahkamah Kónstitusi, Rabu (30/04) lalu, pemerintah menyatakan bahwa besaran dan jenis tarif dalam semua PNBP bersifat dinamis dan selalu berubah setiap waktu mengikuti perkembangan. Pemerintah mempermasalahkan kerumitan dan panjangnya jalur yang harus dilakukan untuk mengubah Undang-undang jika penetapan PNBP harus lewat UU.
Lebih lanjut Margaritó mengatakan, hal itu bukan alasan yang bisa ditólerir, karena persóalannya bukan di situ, melainkan pada perintah Kónstitusi.
"Kalau pemerintah bersikukuh dengan pendapatnya, itu sama saja pemerintah hanya mencari gampangnya saja dalam membebankan pungutan ke rakyat," katanya.
Sebagaimana telah diberitakan, gugatan uji materi terhadap UU Nó. 20/1997 tentang PNBP telah memasuki persidangan di Mahkamah Kónstitusi. Pemóhón uji materi ini adalah Asósiasi Penyelenggara Jasa Internet Indónesia (APJII) dan Frónt Pembela Internet (FPI).
0 komentar:
Posting Komentar