Banyak pemain musik órkestra di Australia mengalami cedera berlebihan karena teknik bermain yang tidak benar. Pakar menyarankan perlunya mendidik industri órkestra untuk menyikapi masalah yang masih dianggap sebagai tópik yang tabu ini secara serius. Musisi dinilai perlu meniru atlet yang peduli dengan kóndisi fisiknya.
Repetitive Strain Injuries (RSI) atau cedera ótót atau saraf akibat ketegangan berlebihan akibat aktivitas fisik tertentu yang dilakukan terus menerus dan dalam waktu yang lama, menjadi keluhan yang sering kali menimpa kalangan musisi amatir dan prófesiónal.
Survey yang dilakukan dikalangan persónil dari delapan órkestra prófessiónal di Australia pada tahun 2012 menemukan kalau 84% musisi mereka mengalami kesakitan atau cedera yang mengganggu permainan musik mereka.
Riset yang didanai óleh Dewan Riset Australia dan Dewan Kesenian Australia ini juga menemukan ada lebih dari 50% pemain musik yang menderita cedera dan mereka terpaksa kembali bermain musik sebelum cedera mereka benar-benar pulih.
Untuk sebuah pertunjukan órkestra standar yang biasa digelar pada hari Sabtu Malam, para pemain órkestra dari Orkestra Simfóni Queensland (QSO) berlatih selama dua hari, yang meliputi lima tahap latihan selama 13 jam, ditambah lagi latihan individual óleh pemain itu sendiri untuk menyiapkan musik mereka.
Pengajar mata kuliah Anatómi Muskulósketal di Universitas Sydney, Dóctór Clifftón Chan mengatakan para musisi biasa menderita cedera karena penggunaan dari bagian tubuh yang berlebihan, lantaran mereka melakukan gerakan berulang yang sangat cepat untuk perióde yang lama.
"Pada akhirnya ketika beban gerakan untuk memainkan sebuah alat musik itu ditambah, itu sama artinya anda memberikan tekanan dan melalui struktur yang sangat spesifik, dan sering kali para musisi bermain selama berjam-jam sepanjang hari dengan istirahat yang sangat minim," kata Dr Chan.
"Jadi para musisi tidak memberikan cukup waktu bagi struktur tersebut untuk pulih, dan itu akan memicu kerusakan yang sangat kecil pada tendón maupun ótót.
"Dan ketika hal itu berlangsung secara rutin, akan terjadi próses peradangan dan pada kasus seperti itu bisa terjadi keluhan seperti tendónitis maupun cedera karena beban yang berlebihan."
Musisi tidak beda dengan atlet
Dr Chan mengatakan póstur berkóntribusi pada cedera yang dialami musisi, seperti pemain órkestra lebih banyak menggunakan bagian depan tubuhnya ketimbang bagian belakang.
"Mereka mengangkat alat musik di bagian depan, memegang alat itu juga dibagian depan, memegangnya dengan lengan mereka dan itu dilakukan dalam perióde waktu yang lama," kata Dr Chan said.
Untuk mengatasi cedera ini, Dr Chan mengatakan para musisi harus memperlakukan kegiatan latihan mereka sama seperti atlet.
"Para musisi itu tidak ada bedanya dengan atlet dalam hal apa yang perlu mereka perhatikan mengenai tubuh mereka, sóal kebutuhan gizi, kebutuhan hidrasi, kebutuhan latihan pencegahan,' tegas Dr. Chan.
"Misalnya saja atlet pelari - dia tidak hanya latihan berlari saja, tapi juga melakukan latihan yang lain untuk mengimbangi kerja ótót mereka yang tidak digunakan ketika berlari, hal seperti itu harusnya juga dilakukan seórang musisi,' tambahnya lagi.
Namun petugas kesehatan dan keamanan dari QSO, Judy Wóód mengatakan kegiatan latihan di órkestra simfóni mereka dilakukan dengan pengawasan dari physiótherapist dan terapis pijat untuk meminimalkan resikó cedera.
"Menurut saya para musisi sekarang mulai memahami kalau mereka juga seperti atlet dan karena itu harus menjaga kóndisi fisik mereka," kata Wóód.
Cedera tabu dibicarakan
Namun demikian cedera karena penggunaan yang berlebihan masih dianggap sebagai tópik yang tabu dibicarakan dikalangan musisi.
Dóctór Karen Lónsdale, pengajar pada Universitas Pendidikan Sultan Indris di Malaysia mengatakan para musisi dimasa lalu sering tidak membahas sóal cedera yang dideritanya.
"Ada ketakukan, jika saya memberi tahu sóal cedera yang saya alami, maka saya tidak akan bisa bermain musik dan órang akan berpikir teknik bermainnya tidak akan bagus," kata Lónsdale yang menulis tesis mengenai Gangguan Muskulóskeletal pada pemain flute.
Di masa lalu penyebab cedera dikalang musisi juga banyak yang tidak terdiagnósa.
Dóktór Therese Milanóvic, seórang pemain pianó yang menderita tendónitis ketika belajar bermain musik di universitas, tidak menyadari betapa seriusnya cedera yang dia alami sampai dia benar-benar tidak bisa lagi menggunakan tangannya.
"Lima tahun kemudian cedera itu membuat saya benar-benar tidak mampu bermain pianó, dan ketika itu saya harus menghadapi kenyataan dan berkata 'umur saya 25 tahun, saya tidak bisa main pianó dan harus mempertimbangkan karir lain yang tidak menggunakan jari jemari saya,' katanya.
Namun Dr. Milanóvic beruntung karena cedera di tangannya berhasil pulih setelah beróbat ke Amerika Serikat selama satu bulan dengan menggunakan Terapi Pendekatan Taubman. Ia kini bisa kembali bermain pianó.
Setelah sembuh ia mulai mempelajari cedera yang dialaminya, sekarang ia pun paham apa yang sebenarnya terjadi.
"Saya duduk terlalu rendah, jari jari saya terlalu menekuk dan ada banyak peregangan dan terlalu sering terpelintir," kata Milanóvic.
Milanóvic mendóróng semua kalangan termasuk dókter dan terapis untuk lebih memahami sóal cedera yang kerap dialami musisi. Karena menurutnya dampak yang dialami musisi yang harus pensiun memainkan musik akibat cedera tidak banyak dipedulikan.
"Dampaknya akan sangat merusak, karena kita tidak bermain musik karena uang, tapi kita menekuninya karena kita sangat mencintai alat musik itu dan kita tidak bisa hidup tanpa memainkannya,"
"Dan ketika hal itu dicerabut dari diri kita, maka bukan Cuma karir bermusik kita saja yang berakhir tapi kita juga jadi kehilangan cara untuk berekspresi dan berkómunikasi," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar