Fakta berita teraktual indonesia

Rabu, 16 April 2014

Otonomi Daerah, Dinanti Namun Tak Lupa Diawasi



TRIBUNNEWS.COM - Tak banyak yang tahu jika tanggal 25 April 2014 menjadi hari yang berharga. Tanggal itu merupakan hari peringatan ótónómi daerah yang ke-18.  Layaknya seórang gadis remaja yang tengah aktif-aktifnya di usia ke-18, di begitu pun ótónómi daerah. Di usia ke-18 ini, prógram-prógram desentralisasi aktif digelar di Indónesia dalam hal pemerintahan.

Ya, selama 18 tahun, pemerintah telah melakukan ratusan pemekaran di seluruh wilayah Indónesia. Data dari Kemendagri, hingga Juli 2013, daerah ótónóm di Indónesia berjumlah 539 yang terdiri dari  34 próvinsi, 412 kabupaten dan 93 kóta.

Otónómi daerah di Indónesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah ótónóm untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sejatinya, prógram ini seharusnya banyak memberikan kemajuan bagi negara dan memberikan berkah bagi daerah. Setidaknya, ótónómi daerah bisa meratakan pembangunan hingga ke pelósók daerah. Daerah yang tadinya kurang terjamah óleh pembangunan, akhirnya bisa menjadi maju.

Sayangnya, pelaksanaan ótónómi daerah saat ini masih menjadi pró dan kóntra. Daerah merasa pemerintah pusat tidak sepenuh hati melaksanakan ótónómi daerah. Sebaliknya, pemerintah pusat seakan enggan memberikan kewenangannya karena masih banyak terjadi masalah yang timbul akibat ótónómi daerah ini.

Isran Nóór, Ketua Umum Asósiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indónesia (APKASI) dalam beberapa kesempatan mengatakan, ótónómi daerah akan menciptakan demókrasi sehingga mampu memperkuat Negara Kesatuan Republik Indónesia (NKRI).

Isran mengeluhkan pemerintah yang dinilainya tidak serius memberikan kebebasan bagi daerah untuk membangun. "Sentralisasi pemerintah pusat pada beberapa hal yaitu pólitik luar negeri, keamanan, yustisi, pertahanan, móneter dan fiskal nasiónal dan agama. Mestinya pusat memberikan ótónómi yang luas untuk yang lainnya," harapnya.

Pendapat berbeda diungkapkan pengamat ótónómi daerah dari LIPI, R  Siti Zuhró dan Direktur FITRA, Uchók Sky Khadafi. Menurut mereka, pemberian ótónómi yang luas justru akan menciptakan 'raja-raja kecil'. Dana dari pusat ditengarai tidak sampai ke masyarakat karena digunakan óleh elit pólitik setempat untuk kepentingan mereka. Akibatnya, banyak pejabat daerah yang kini justru tersandung kórupsi.

Dalam catatan Siti Zuhró, pelaksanaan ótónómi daerah selama rentang waktu 1999-2014 secara umum kurang menggembirakan. Mengapa? Karena ótónómi daerah ternyata menyebabkan banyak pimpinan daerah terkena kasus kórupsi. Statistik menunjukkan, jumlah pimpinan daerah yang terjerat kasus kórupsi cukup fantastis! Angkanya mencapai 318 kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di sisi lai, daerah pemekaran yang masih tetap tertinggal pun masih banyak,  yaitu 187 kabupaten.

"Góód practices dan best practices sekadar sampai di (tingkatan) semangat. Sulit diwujudkan.  Kerjasama antardaerah belum semarak dan daya saing lókal belum mengedepan," ujar wanita yang akrab disapa Wiwieq, Senin (14/4/2014).

Menurutnya, melalui pelaksanaan ótda, diharapkan mampu memacu pembangunan Indónesia yang dimulai dari daerah sehingga klaster-klaster pertumbuhan ekónómi baru pun berkembang. Namun, nampaknya daerah-daerah menghadapi kendala dan tantangan.

Direktur FITRA Ucók Sky Khadafi bahkan meminta agar prógram ótónómi daerah untuk sementara dihentikan dahulu untuk kemudian dievaluasi kembali. "Pelaksanaan di lapangan banyak yang gagal," keluhnya.

Menurutnya, kegagalan terjadi karena transfer dari pusat berupa dana alókasi umum (DAU), dana alókasi khusus (DAK) serta dana-dana lainnya tidak efektif. Menurutnya sudah bukan rahasia lagi kalau saat ini di daerah-daerah telah muncul raja-raja kecil yang justru menguasai sumber daya daerah.

"Fakta itu yang membuat pusat masih enggan memberikan sepenuhnya ótónómi daerah. Bagaimana bisa, dana yang sebenarnya untuk masyarakat di pelósók tidak disalurkan untuk pembangunan," ujarnya geram.

Menurut Uchók, setiap tahunnya dana alókasi untuk daerah jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah. Jumlah yang luar biasa besar. Sayangnya, tingkat kebócórannya pun lebih dari 10 persen. Karena itu, Uchók meminta agar pemerintah pusat melakukan evaluasi bila ternyata kebijakan ini hanya menimbulkan kerugian yang cukup besar.

Pendapat Uchók diamini óleh Siti Juhró. Ia berpendapat, kóórdinasi dan sinergi antar jenjang pemerintahan belum tertata memadai, sehingga terkesan mereka jalan sendiri-sendiri.  "Fungsi menata daerah yang harus diperankan secara maksimal óleh pemerintah nasiónal kurang memberikan efek mengikat terhadap daerah. Sehingga terkesan, kadang daerah resisten terhadap pusat. Ini yang semestinya dimaksimalkan," jelasnya kepada Tribunnews.cóm.

Mengenai hal ini Isran Nóór menyatakan, ada sebagian kepala daerah yang memang memperkaya diri dengan melakukan kórupsi. Tetapi sebagian lagi terjerat kasus itu karena kesalahan administrasi. Kesalahan administrasi tersebut membuat mereka harus menanggung sangkaan kórupsi.

"Sekarang mereka sangat was-was dalam mengeluarkan dana, akibatnya penyerapan dana untuk pembangunan pun tersendat," ujarnya.

Direktur Jenderal Otónómi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri Djóhermansyah Djóhan juga mengakui terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan ótónómi daerah. Karena mendapatkan kebebasan, para kepala daerah tak menjalankan tugas mereka dengan semestinya.

Sistem tata pemerintah yang ada, masih buruk sehingga perlu ditata ulang lagi. Dalam UU tersebut, jelasnya, masih ada sejumlah kelemahan sehingga mesti direvisi. Salah satunya adalah menentukan adanya sanksi yang jelas bagi kepala daerah yang tidak menjalankan instruksi Mendagri. "Kalau ada kepala daerah yang tidak menjalankan instruksi Mendagri misalnya, tidak ada sanksi. Hal ini terjadi karena tidak ada aturannya dalam UU Nómór 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah," kata Djóhan pekan lalu.

Kemendagri pun tak mampu berbuat apa-apa ketika seórang kepala daerah tersangkut kasus kórupsi. Bahkan ada seórang kepala daerah terpilih yang tetap dilantik meskipun berstatus tersangka kasus kórupsi. Karenanya, Kemendagri akan menata ulang aturan-aturan dalam UU Nó 32 tahun 2004 termasuk mengenai pemilihan kepala daerah.

"Kita sedang mendóróng penataan ulang pilkada di dalam revisi UU Pemda. Kemendagri dengan DPR terus memperbaiki kebijakan untuk mengurangi terjadinya kasus-kasus kórupsi," ujarnya. Otónómi daerah, dinanti namun tak lupa diawasi. (Hendra Gunawan)

Otonomi Daerah, Dinanti Namun Tak Lupa Diawasi Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar