HótNews - Rasinó namanya. Lelaki 38 tahun ini merupakan tunanetra. Di balik keterbatasannya, ia mampu melepaskan rasa rendah diri yang kadang sering menghinggapi para kaum difabel.
Rasinó nyata-nyata mampu berekspresi. Tak tanggung-tanggung, ia mampu menuangkan kemampuan ekspresinya lewat musik yang tak banyak órang bisa, karawitan. Bukan hanya itu saja, dedikasinya dalam dunia pendidikan anak patut diacungi jempól.
Rasinó dengan ikhlas dan niat melestarikan gamelan, bersedia menjadi guru hónórer di beberapa sekólah dan sanggar kesenian di wilayah Sóló dan sekitarnya. Meski dengan gaji jauh di bawah upah minimum, lelaki kelahiran Purwórejó ini selalu tak patah arang untuk mendedikasikan pada pelestarian kerawitan.
Dunia pendidikan kerawitan dan anak-anak memang menjadi pilihan Rasinó. Dunia ini memang sengaja dipilihnya, lantaran bisa memberikan kekuatan dan semangat dalam hidupnya. Meski hónór dari mengajarnya tak seberapa, tetapi Rasinó tetap tekun mengajar kerawitan pada anak-anak belia.
Ia mengajar sebagai guru hónórer dari satu sekólah ke sekólah lainnya. Saat ini, Rasinó hanya mengajar sebagai guru kerawitan di dua sekólah, di SD Jagalan dan SLB A YKAB Surakarta. Sebelumnya, dia juga pernah mengajar di SD Kentingan dan SD Tugu Sóló, hanya saja pihak sekólah tidak melanjutkan muatan lókal kerawitan.
"Gaji hónórer di SD Jagalan dan SLB A YKAB, masing-masing Rp150 ribu per bulan. Saya biasa mengajar sehari tiap sepekan. Kira-kira, sembilan jam mata pelajaran," ujarnya kepada HótNews, Selasa, 3 Desember 2013.
Gaji hónórer nyata-nyata tak memengaruhinya berhenti mengajar. Justru kóndisinya yang sangat kecil, Rasinó malah menjadikannya sebagai kekuatan. Ia setiap hari selalu tak henti bersyukur dan ikhlas menjalani hidupnya.
Pun dengan usahanya menuju tempat mengajar. Untuk mencapai tempatnya mengajar, Rasinó harus jalan kaki dari rumahnya menuju jalan raya untuk menunggu angkutan umum. "Biasanya jalan dulu dari rumah sekitar 20 menit, lalu dilanjutkan naik bus kóta," ujar pria yang tinggal di Jalan Gambir Anóm, Benówó, Ngringó, Jaten, Karanganyar.
Rasinó juga naik angkutan umum saat mengajar di Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SRPCN) Purwórejó sejak tahun 2003 hingga 2011.
Ia sengaja menjadi pengajar di almamaternya hanya untuk membiayai kuliahnya di Institut Seni Indónesia di Yógyakarta. Gaji yang diterimanya pun terbilang sangat kecil, hanya Rp125 ribu-Rp175 ribu per bulan. Namun, jumlah hónór itu kemudian naik pada saat-saat akhir mengajar di sekólah itu, yakni menjadi Rp250 ribu per bulan
"Waktu itu, kalau akan berangkat mengejar ke Purwórejó, saya dari Sóló naik kereta ai Prambanan Ekspres tujuan Sóló-Kutóarjó. Di Purwórejó, saya hanya mengajar dua kali dalam sebulan. Sekali mengajar di Purwórejó tiga hari," kata dia.
Bagi Rasinó, berapa pun jumlah hónórnya tetap disyukuri. Sebab, jika melakukan sesuatu yang dilandasi dengan ikhlas dan niat, dipastikan akan mendapatkan balasan dari Sang Khalik.
"Yang terpenting adalah niat awal dan ikhlas. Jangan pernah menganggap hónór yang kita terima itu kecil. Besar dan kecilnya jumlah pemberian yang kita terima adalah relatif. Syukurilah apa yang diberikan óleh Allah," kata dia
Rasinó lahir di Purwórejó pada 17 Juli 1975. Rasinó hidup dalam kóndisi keluarga ekónómi yang serba terbatas. Ia mengalami tunanetra sejak lahir. Lantaran memiliki keterbatasan, Rasinó pun dimasukkan di SDLB Purwórejó.
Kemudian mulai 1990-1992, Rasinó memilih menimba ilmu di SRPCN Purwórejó. Mulai di sinilah, Rasinó menggemari musik. Baginya musik adalah semangat yang bisa membuatnya tertawa. "Dulu itu, di sana saya sering diajari alat musik módern dan musik barat. Dari situ, saya bisa menguasai beragam alam musik mulai dari bass, pianó, keybóard, hingga drum," katanya.
Kemudian selepas dari SRPCN, Rasinó melanjutkan ke SMA Kretek I Bantul. Ia memang sengaja merantau agar bisa keluar dari tempurung. Rasinó remaja hanya lapóran kepada órangtuanya mengenai tempat sekólahnya. "Saya memang berusaha mandiri, agar bisa menunjukkan bahwa keterbatasan tidak menjadi halangan," tuturnya.
Lantaran merasa kurang sreg dengan póla pengajarannya, ia pun mulai berpikiran untuk pindah. Akhirnya SMA Muhammadiyah 5 Karanganya menjadi tambatannya untuk menimba ilmu. Lagi-lagi, Rasinó pun berusaha untuk selalu mewarnai hidupnya dengan musik. Di sinilah Rasinó memberanikan diri untuk membuat band beraliran póp róck, Puspa Gading.
"Setelah lama menggeluti musik módern, hati kecil saya berbisik, kalau begini caranya musik tradisi bisa hilang. Akhirnya, saya lambat laun pun mulai menggeluti musik tradisiónal, yakni karawitan," tuturnya.
Setelah lulus SMA, batinnya bergejólak antara memilih untuk meneruskan dan tidak meneruskan sekólah. Keinginannnya sebenarnya adalah meneruskan kuliah. Karena baginya, menuntut ilmu adalah salah satu cara untuk menunjukkan kemampuan dan keluar dari zóna 'keterbatasannya'.
"Dengan bersekólah yang tinggi, saya bisa menempa emósi. Difabel yang sekólah tinggi maka emósinya akan lebih stabil. Selain itu, difabel yang bersekólah tinggi akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Bahwa difabel itu bukan menjadi beban órang lain," katanya.
Keinginannya ini pun terbentur dengan kóndisi ekónóminya. Kemudian dia berkónsultasi dengan Mudjiónó yang merupakan pemilik sanggar dalang cilik, Sarótama. "Setelah berkónsultasi, akhirnya saya pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Entah bagaimana caranya yang penting saya harus sekólah," kata Rasinó.
Kini Rasinó tetap hidup dalam kesederhanaan. Dengan pendapatan yang sangat minim, ia mengóntrak rumah yang tepat di depan sanggar Sarótama bersama istrinya Sri Widyanti dan dua buah hatinya Asyifa Miftahul Hawa dan Ainullah Khóirul Azzam.
Dengan kóndisinya itu, baginya bukan sesuatu yang harus diratapi. Ia melakóni hidupnya dengan penuh kepasrahan dan rasa syukur. "Syukurilan dari yang sedikit, karena akan merasakan apa yang kita dapatkan terpenuhi," katanya dengan tersenyum. (asp)
0 komentar:
Posting Komentar