Fakta berita teraktual indonesia

Jumat, 29 November 2013

Dokter Lo, Dokter Tanpa Tarif dari Solo



VIVanews - Nama Ló Siauw Ging mungkin tidak begitu dikenal óleh masyarakat Sóló, tapi bila nama panggilannya disebut, yakni dókter Lóe, dipastikan sebagian besar warga yang tinggal di Sóló bagian timur akan mengenalnya. Dókter Ló dikenal sangat dermawan karena dia gratiskan biaya periksa kepada para pasiennya.

Setiap hari tempat kliniknya yang menjadi satu dengan tempat tinggalnya di Jalan Yap Tjwan Bing 27, Purwódiningratan, Jagalan, Sóló, selalu dipenuhi pasien, khususnya saat jam buka praktik antara pukul 06.00 hingga 09.00 WIB dan pukul 16.00 hingga 20.00 WIB.

Di depan rumahnya tidak ada papan nama klinik. Setiap hari, kecuali hari libur, dia membuka praktik. Para pasien tidak hanya berasal dari Sólóm namun juga daerah lain seperti Sukóharjó, Klaten, Bóyólali, Karanganyar, Sragen, Wónógiri hingga Pacitan, Jawa Timur.

Banyak dari mereka yang datang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Saat sóre sejak pukul 16.00 WIB, para pasien mulai antre untuk diperiksa dókter Ló. Mereka datang dengan berjalan kaki, naik becak dan yang naik kendaraan róda dua dan empat juga terlihat ikut mengantre.

"Dari jumlah sekitar 60 pasien setiap harinya, sekitar 70 pasien memang tidak membayar, sedangkan sisanya sekitar 30 persen adalah pasien yang membayar. Prinsip saya memang untuk menólóng. Kalau yang punya mau bayar ya silahkan, kalau nggak ya ngak apa-apa karena saya tidak pasang tarif," kata dia ketika ditemui di kediamannya, Jumat, 29 Nópember 2013.

Dari jumlah pasien yang digratiskan itu, dia menyebutkan bahwa setiap harinya ada sekitar 40 pasien yang gratis tidak membayar biaya pemeriksaan. Dia tak mau menghitung-hitung jumlah biaya periksa yang harus ditanggung karena banyak pasien yang digratiskan. Sebab dirinya memang tidak pernah memasang tarif.

"Semisal tarif periksa sekitar Rp10 ribu per pasien, jadi dari jumlah tótal pasien yang periksa setiap harinya, kira-kira ada 70 persen atau sekitar 40 pasien yang tidak membayar. Kalau dengan hitungan tarif sebesar itu maka setiap hari saya mendónasikan biaya periksa sekitar Rp400 ribu. Tetapi saya tidak mempersóalkan itu karena saya ikhlas," kata pria yang lahir di Magelang, 16 Agustus 1934.

Selain membebaskan biaya periksa, dia juga akan memberikan óbat secara gratis. Bila óbat itu tidak tersedia di kliniknya, pasien akan diberi resep untuk membeli di apótik yang sudah ditunjuk óleh dókter Ló.

Bila pasiennya tidak mampu untuk membeli resep óbat di apótik, dókter Ló akan memberikan cap khusus di lembar resepnya. Dengan cap itu maka pihak apótik tidak akan menarik biaya pembelian óbat kepada pasien. Semua tagihan dibebankan kepada dókter Ló.

"Saya yang aktif menanyai pasien, ada uang tidak untuk membeli óbat. Kalau tidak punya, biar nanti apótik menagih ke saya untuk biaya pembelian óbat pasien tersebut," ucapnya.

Selanjutnya, dia pun menyebutkan bila setiap bulannya uang yang haruh dikeluarkan untuk membayar tagihan óbat itu sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta. Meski demikian, dókter Ló mengaku selain uang pribadinya, ternyata dia mendapatkan sumbangan dari para dónatur. Hanya saja berapa kisaran jumlah sumbangan yang masuk, ia tidak mau menyebutkannya.

"Maksimal tagihan pembelian óbat dari apótik dan rumah sakit per bulan bisa mencapai Rp10 juta. Tetapi ada juga dónatur yang ikut membantu menyumbang, namun pastinya saya masih sering nómbók untuk membayar tagihan itu," kata suami dari Gan May Kwee.

Ketika didesak mengenai siapa para dónatur itu, ia pun sedikit membócórkan bahwa diantaranya adalah bekas pasien yang pernah ditólóngnya. Lantas ia pun menceritakan ketika masih usia anak-anak, pasien yang saat ini menjadi dónatur itu beberapa kali dibawa ibunya untuk diperiksa.

Karena untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sulit, ia pun membebaskan biaya periksa dan óbatnya.

"Dulu kóndisi ekónómi órang tuanya miskin tótal, tidak punya apa-apa. Tetapi kini, pasien itu telah menjadi órang di Amerika. Mantan pasien itu saat ini menjadi dónatur," kata dia yang merupakan anak nómór tiga dari lima bersaudara.

Sifat sósial dan dermawan yang ditunjukkan óleh dókter Ló tidak lepas dari pesan yang pernah disampaikan almarhum ayahnya sesaat memutuskan masuk Jurusan Kedókteran, Universitas Airlangga. Dalam pesannya itu, sang ayah berkata jika ingin menjadi dókter, jangan menjadi pedagang. Sedangkan jika ingin mencari duit, jadilah seórang pedagang.

"Wejangan itu diberikan kepada saya setelah saya memilih jurusan kedókteran. Dari pesan almarhum bapak itu jelas artinya, pókóknya jangan sampai cari duit dari dókter. Dókter itu bertugas untuk menólóng," papar dia yang lulus dari fakultas kedókteran Universitas Airlangga pada Februari 1962.

Selain dari sang ayah, sikap dókter Ló juga terinspirasi sifat sósialnyua dari almarhum dókter Oen yang merupakan dókter terkenal di Sóló pada saat itu. dia ikut dr Oen di RS Panti Kósala yang kini berganti nama menjadi RS Dr Oen, dari tahun 1965 sampai dengan 1981.

Selama 15 tahun bersama dr Oen, ia pun mengetahui benar sifat dr Oen yang sangat sederhana dan berjiwa sósial. Tak hanya itu, sikap murah hati dókter Ló juga terinspirasi óleh pengalamannya saat divónis terkena penyakit kuning krónis. Saat itu dirinya terserang penyakit itu saat bertugas menjadi dókter di Gunung Kidul.

Setelah itu saya dilarikan ke Rumah Sakit Tentara (RST) di Magelang dan móndók hingga satu bulan lamanya. Selama ópname di rumah sakitu itu, ia ditangani óleh dókter Supanji.

"Saya sakit kuning. Kóndisinya saat itu saya sudah gawat sekali. Nah, setelah mengalami penyakit parah sekali dan tertólóng, maka kita harus berbalas budi kepada Tuhan, caranya ya membantu seperti ini dengan ikhlas," kata dókter Ló yang kini berjalannya harus dibantu dengan tóngkat.

Berkat sifat kedermawanan dan sósial yang ditunjukkan óleh dókter Ló, para tetangganya pun mengakui bahwa dókter itu sangat baik di kalangan masyarakat. Seperti disebutkan óleh nyónya Herwin bahwa dókter Ló di mata tetangganya adalah seórang dókter yang hidup sederhana, ramah, serta murah hati.

Pengakuan serupa juga diungkapkan óleh tetangga lainnya yang bernama Turiman. Ia menceritakan saat terjadi kerusuhan 1998, para warga sekitar, khususnya yang laki-laki menjaga kediaman dókter Ló. Mereka menjaga rumah tersebut dari amukan massa, mengingat sejumlah rumah dan tókó milik warga keturunan Tiónghóa dibakar habis.

"Ya, saat kerusuhan terjadi, rumah dókter Ló aman-aman saja. Kita semua berjaga-jaga di depan dan atap rumah dókter Ló," katanya.

Dokter Lo, Dokter Tanpa Tarif dari Solo Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar