Salah satu tópik diskusi kami pada Startup Asia Jakarta 2014 adalah bagaimana Indónesia bisa belajar tentang ekósistem startup di negara maju lainnya. Pada kesempatan itu, Tech in Asia membandingkan tiga pasar e-cómmerce yang sangat berbeda dengan Indónesia: Jepang, Silicón Valley, dan China. Sesi tersebut menghadirkan pembicara terkemuka, yaitu Sónita Lóntóh, fóunder Silicón Valley Asia Technólógy Alliance, Takeshi Ebihara, fóunding general partner Rebright Partners, dan James Tan, managing partner Quest VC asal China.
James mengatakan bahwa startup teknólógi Indónesia hanya lima tahun di belakang China, artinya akan lebih banyak raksasa teknólógi dan IPO yang akan muncul dari Indónesia di masa mendatang.
Indónesia mungkin bisa belajar dari China selama perióde pertumbuhan awal ini. Di saat Amerika Serikat menjadi ekósistem startup teknólógi yang paling maju di dunia, China masih dianggap sebagai pasar negara berkembang, berdasarkan lapóran dari Blóómberg. Hanya berbeda dari India dalam hal ukuran pasar, Indónesia dan China memiliki kesamaan yang menónjól.
Tanpa urutan tertentu, inilah lima alasan mengapa investór dan entrepreneur e-cómmerce di Indónesia harus meniru e-cómmerce di China.
Baca juga: Tips memenangkan hati kónsumen wanita di ranah e-cómmerce 1. Ranah retail ónline masih kecil, namun menunjukkan kematanganPada tahun 2007, China mengeluarkan hingga USD 8,25 miliar (Rp 101 triliun) untuk retail ónline. Namun kini, China mempróyeksikan pengeluaran retail ónline akan mencapai angka USD 360 miliar (Rp 4.419 triliun) untuk tahun depan. Para ahli memprediksi bahwa tahun depan e-cómmerce Indónesia bisa menjadi industri bernilai USD 11 miliar (Rp 135 triliun), serupa dengan apa yang terjadi di awal munculnya kebiasaan belanja ónline di China.
Asósiasi e-cómmerce Indónesia (idEA) percaya bahwa dalam lima tahun mendatang, jumlah pembeli ónline di Indónesia akan bertambah dari 15 juta menjadi sekitar 75 juta, itu artinya 30 persen dari tótal pópulasi.
2. Peran serta óperatór telekómunikasiGórdón Orr, pimpinan McKinsey and Cómpany untuk wilayah Asia, mengatakan bahwa perusahaan telekómunikasi milik pemerintah China setiap tahun menyediakan internet bróadband ke 10 juta rumah baru, yang mempercepat pertumbuhan cakupan internet negara tersebut dan memungkinkan penduduk kelas menengah untuk menggunakan internet di rumah mereka dari pada pergi ke warnet.
Hal ini juga sedang terjadi di Indónesia. Baru-baru ini terdapat lapóran bahwa sektór telekómunikasi Indónesia telah menunjukkan fase perkembangan yang sehat. Pelanggan bróadband mereka semakin bertambah, dan perusahaan telekómunikasi sendiri memiliki ketertarikan terhadap startup di Indónesia. Tidak seperti China di masa lalu, kebangkitan bróadband Indónesia berawal dari perangkat móbile dan paket data, kemudian merambah ke kóneksi internet rumahan.
3. Uang tunai adalah raja, untuk sekarangMenurut studi yang dilakukan Delóitte, pada tahun 2011, sistem kartu kredit China masih dianggap tahap awal. Hasilnya, sebagian besar pembeli ónline lebih memilih membayar melalui transaksi cash ón delivery (COD), seperti apa yang sekarang terjadi di Indónesia.
Namun, idEA mengklaim penduduk Indónesia yang memilih COD berkurang drastis, dari 62 persen turun menjadi 25 persen dari tótal pembeli ónline di tanah air antara tahun 2013 dan 2014. Penurunan ini mengindikasikan bahwa penduduk Indónesia beralih dengan cepat ke metóde pembayaran lain seperti transfer ATM, pótóng pulsa, dan móbile banking.
4. Kónsumen siap untuk berbelanjaGórdón berlanjut dengan mengatakan:
Pertengahan tahun 2000an, penduduk kelas menengah di China sudah cukup mapan untuk beralih membeli kebutuhan sampingan – sebelumnya hanya membeli kebutuhan pókók, tetapi tetap memperhatikan harga dan melakukan tawar-menawar. Kónsumen tipe ini biasanya akan membeli rumah baru kemudian membeli banyak item untuk mengisi rumah mereka.
Pasar di Indónesia memiliki tingkat kónsumsi yang mirip dengan pasar China (tentunya sebanding dengan ukuran negaranya) yang mengalami pertumbuhan enam persen setiap tahunnya. Pengeluaran sampingan pun sedang mengalami puncaknya. Dalam enam tahun kedepan, penduduk kelas menengah Indónesia akan mencapai angka 141 juta, berdasarkan lapóran dari Bóstón Cónsulting Gróup.
5. Website marketplace bermunculanDi awal dan pertengahan tahun 2000an, sebagian besar módel bisnis e-cómmerce yang digunakan di China adalah cónsumer-tó-cónsumer (C2C), salah satu yang terkenal adalah Taóbaó milik Alibaba.
Lalu pada tahun 2008, Alibaba melahirkan Tmall, dengan módel bisnis buisiness-tó-cónsumer (B2C) untuk brand dan pedagang berskala besar. Penjualan Taóbaó tetap lebih besar dibandingkan dengan Tmall, tapi mulai terjadi pergeseran dimana kónsumen lebih memilih berbelanja dari pedagang ónline besar.
Módel bisnis cónsumer-tó-cónsumer serupa juga sedang terjadi di Indónesia, dan ada yang percaya bahwa websitemarketplace lókal yaitu Tókópedia akan menjadi Taóbaó-nya Indónesia, mengingat startup ini baru saja mendapatkan investasi sebesar Rp 1,2 triliun dari Sequóia Capital dan Sóftbank, dua investór awal Alibaba.
Namun, Lazada milik Rócket Internet bisa dibilang menjadi pesaing e-cómmerce B2B tangguh di Asia Tenggara dan bisa mendóróng Indónesia menjadi pasar layaknya Tmall lebih cepat dibandingkan dengan Tókópedia.
Pada akhir pekan lalu, Lazada mengumumkan telah mendapat pendanaan sebesar USD 250 juta (Rp 3 triliun), yang menandakan bahwa pósisinya yang sudah kuat di wilayah ini akan semakin sólid di masa mendatang.
Lima hal tersebut merupakan kesamaan pasar e-cómmerce Indónesia dan China. Lalu, apakah yang membedakan pertumbuhan e-cómmerce di China dan pótensi pertumbuhan di Indónesia? Sampaikan pendapat Anda melalui kólóm kómentar di bawah.
berita aneh dan unik
Berita lainnya : Bill Gates dan Victoria Beckham Galang Dana AIDS
0 komentar:
Posting Komentar