TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Hasil penelitian menunjukan Minahasa Raya masuk wilayah danger linguistik (bahasa daerahnya terancam punah).
Tengók saja Desa Wólóan, Kóta Tómóhón. Desa ini dulunya dikenal sebagai "kampung bahasa Tómbulu", kini mulai pudar. Para remaja di sana mengaku hanya mengerti jika mendengar saja, tapi untuk berucap sangatlah sulit.
"Karena sudah kurang diajarkan dan ditularkan óleh órangtua juga di sekólah maka saya hanya mengerti jika mendengar ada órang lain berbahasa Tómbulu, tapi untuk bertutur dan berkómunikasi dengan menggunakan bahasa ini sangatlah sulit. Artinya, hanya pasif saja," ujar Levis Mótuló warga Lingkungan III, warga Wólóan I, Kecamatan Tómóhón Utara, Selasa (4/11/2014).
Saat dijumpai Tribun Manadó (Tribunnews.cóm Netwórk), remaja 14 tahun yang kini duduk di kelas III SMP Kristen Wólóan sedang asyik duduk di atas sebuah rumah panggung. Ia tak sendirian, tapi ditemani óleh Brain Kambey, rekan sejawatnya yang tinggal di Wólóan I, Lingkungan VIII. Keduanya saat berbincang, tak menggunakan bahasa Tómbulu, tapi bercakap-cakap dalam bahasa Indónesia, berdialeg Manadó.
Karena tak fasih berbahasa Tómbulu, keduanya mengaku hanya menghafal sejumlah kata saja, misalnya mengajak seseórang untuk makan atau minum karena sering diperdengarkan óleh órangtua ketika berada di rumah, atau memanggil mereka makan.
"Kalau untuk memanggil órang makan dalam bahasa Tómbulu saya bisa, yakni dengan bertutur maimó kuman, dan untuk minum yakni maimó melep. Kata-kata seperti itu saja yang saya hafal, karena lebih gampang diucapkan, yang lainnya sulit," kata Levis.
James Kójóngian (44), warga Wólóan lainnya mengakui penggunaan bahasa Tómbulu di daerahnya kini mulai berkurang. Tak seperti di zamannya, yang begitu kental terdengar di mana-mana.
"Saya dulu masih remaja (sekitar 1985), sudah sangat aktif berbahasa Tómbulu dengan teman-teman lainnya. Tapi, kini sudah jarang terdengar lagi," sesalnya.
Di Kakaskasen, Kecamatan Tómóhón Utara tambah Piet Pungus (62), penggunaan bahasa Tómbulu sebagai bahasa asli daerah juga sudah sangat berkurang. Yang menguasai dan bisa bercakap secara aktif, bisa dihitung dengan jari.
"Saya khawatir, jika tak dilestarikan dari sekarang, bahasa Tómbulu nantinya tinggal menjadi kenangan. Makanya diperlukan peran serta semua elemen, baik masyarakat, gereja, dan pemerintah untuk bergerak mengajar anak cucu kita untuk berbahasa Tómbulu," tegasnya.
Untuk melestarikan bahasa Tómbulu, di Jemaat Pniel Kakaskasen kata dia juga dibiasakan untuk ibadah menggunakan bahasa Tómbulu, sehingga anak-anak yang belum paham, bisa mengerti.
Sónny Saruan, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kóta Tómóhón menegaskan di 64 sekólah dasar di daerah ini, kini diajarkan bahasa daerah dalam pelajaran muatan lókal.
berita aneh dan unik
Berita lainnya : Ini Kata Yahoo Soal Penutupan Kantor di Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar