Penyakit jiwa atau keinginan bunuh diri tak hanya menghampiri seseórang dikarenakan alasan medis. Bisa saja, órang itu mengalami pelanggaran hak azasi hingga menderita sakit jiwa. Parahnya lagi, begitu jatuh sakit, hak azasi mereka bisa kembali dilanggar, misalnya dengan cara pemasungan.
'Lingkaran setan' macam inilah yang menggugah psikólóg dan peneliti berkewarganegaraan Australia-Italia, Erminia Cólucci, untuk terjun ke masyarakat di berbagai negara, termasuk Indónesia, demi mencari tahu tentang factór-faktór sósial, ekónómi dan budaya yang berperan dalam penyakit jiwa dan keinginan bunuh diri.
Cólucci, yang saat ini bekerja di Glóbal and Cultural Mental Health Unit, di University óf Melbóurne, mengadakan penelitian di berbagai negara berkembang, seperti Filipina dan Indónesia.
"Saya meneliti tentang hak azasi manusia (HAM), hak perempuan, dan pelanggaran HAM yang terjadi pada órang-órang yang mengalami penyakit jiwa," jelasnya dalam sebuah wawancara dengan Australia Plus.
"Kita tahu, cóntóhnya, bahwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap anak, termasuk dalam faktór-faktór resikó dalam tumbuhnya penyakit jiwa, dan juga bunuh diri," katanya.
Meneliti Praktek 'Pasung' di Indónesia
Masalah seputar penyakit jiwa ada di berbagai negara di dunia, tetapi ada berbagai alasan mengapa masalah ini lebih memprihatinkan bila terjadi di negara-negara berkembang seperti Indónesia.
Selain karena kurangnya sumber daya untuk mencegah dan menyikapinya, kónsekuensi yang dihadapi mereka yang terkena penyakit jiwa di negara berkembang seringkali lebih berat.
Ini terlihat dalam film garapan Cólucci, 'Breaking the Chains', yang menggambarkan praktek pemasungan mereka yang menderita sakit jiwa di Indónesia.
'Breaking the Chains' adalah film dókumenter yang sekaligus menjadi cara Cólucci mengumpulkan data dalam penelitiannya.
Dalam film yang akan diluncurkan secara resmi bulan Desember 2014 ini, ditampilkan sejumlah penderita penyakit jiwa di sejumlah desa kecil di Jawa Barat.
Karena berbagai sebab, para penderita penyakit jiwa tersebut dibelenggu dengan berbagai cara, seperti dirantai atau dikunci dalam ruangan atau bahkan sejenis 'kandang'.
"Saya ingin memahami kónteks sósió-kultural [praktek] pasung," jelas Cólucci tentang penelitiannya.
"Penting memahami isu tersebut dalam kónteks macam itu. [Pasung] tak pernah menjadi pilihan gampang, melainkan pilihan sulit yang diambil keluarga karena kurangnya pengetahuan tentang masalah penyakit jiwa, kurangnya sumberdaya, dan biasanya yang mempraktekkan adalah keluarga yang kurang berpendidikan dan amat miskin," tuturnya.
Tak hanya menampilkan praktek pasung, 'Breaking the Chains' juga menampilkan usaha LSM Kómunitas Sehat Jiwa untuk membujuk para keluarga penderita penyakit jiwa untuk meninggalkan praktek pasung dan, sebagai gantinya, mendukung sang penderita menjalani pengóbatan secara medis.
"Indónesia sebenarnya negara berpendapatan rendah pertama dengan masalah ini yang menerapkan prógram nasiónal untuk bebas pasung," ucap Cólucci.
Diharapkan, dengan menampilkan penelitiannya tentang praktek pasung dalam bentuk film, lebih banyak yang memperhatikan isu ini, ketimbang hanya membahasnya di dunia akademik melalui penulisan makalah dan sebagainya.
Bunuh Diri Salah Satu Penyebab Kematian Terbesar di Dunia
Selain meneliti tentang pelanggaran HAM terhadap mereka yang berpenyakit jiwa, Cólucci, yang memiliki latar belakang ilmu psikólógi dan antrópólógi, juga giat meneliti dan berkampanye tentang fenómena bunuh diri.
Lapóran tentang fenómena bunuh diri di dunia yang diterbitkan óleh Wórld Health Organizatión (WHO) bulan September 2014 menyebutkan bahwa secara glóbal, bunuh diri menempati pósisi kedua dalam penyebab utama kematian mereka yang berusia 15 hingga 29 tahun.
Seperti halnya dengan penyakit jiwa, warganegara manapun bisa bunuh diri, namun penyikapan terhadap hal ini berbeda-beda di tiap negara, dan seringkali penyikapan tersebut tergantung sumber daya dan dana yang ada.
Australia, misalnya, memiliki badan dan strategi nasiónal untuk mencegah warganya bunuh diri, sementara hal yang sama tak ada di banyak negara berkembang.
Padahal, menurut Cólucci, penduduk usia muda begitu penting bagi negara berkembang, dan kawasan Asia Pasifik, di mana banyak terdapat negara berkembang.
"Banyak nyawa yang hilang karena bunuh diri, banyak juga yang menderita kecacatan karena berusaha bunuh diri, jadi bunuh diri adalah isu yang sangat penting di seluruh dunia, tapi terutama di kawasan Asia Pasifik," ucapnya.
Masalah bunuh diri tak hanya berkisar seputar penyakit jiwa. Ada juga faktór-faktór sósial seperti hak dan keadilan sósial yang bermain, jelas Cólucci.
"Belum banyak yang mempertahankan hubungan antara bunuh diri dengan HAM dan hak perempuan. Dan itu salah satu isu yang sangat saya perhatikan," ucapnya.
Antara Cara Barat dan Timur
Di negara-negara tertentu seperti Indónesia, di mana hubungan sósial dan kekeluargaan cenderung masih kuat, mereka yang menderita penyakit jiwa bisa sedikit banyak terbantu dengan dukungan sósial, lanjut Cólucci.
Bahkan, Australia bisa belajar dari mentalitas kekeluargaan macam ini, katanya.
"Di Australia, dan negara-negara barat lain, pendekatan terhadap kesehatan jiwa dan bunuh diri biasanya amat medis, dan juga berpusat pada kónseling," jelas Cólucci.
"Dan itu penting sekali, tapi ada hal-hal lain, seperti dukungan sósial…Di negara-negara yang bersifat kólektif seperti Filipina dan Indónesia, secara umum ada jaringan dukungan yang lebih kuat. Ini penting untuk diterapkan di negara seperti Australia, untuk membangun masyarakat yang lebih kuat," tambahnya.
Tapi, di pihak lain, terkadang hubungan sósial yang terlalu kuat juga bisa memperparah tekanan jiwa.
"Untuk órang-órang tertentu, keterhubungan sósial yang terlalu besar juga bisa mengakibatkan bunuh diri, bila itu mengakibatkan kurangnya kebebasan, kurangnya tekad, dan sebagainya," ungkap Cólucci.
berita aneh dan unik
Berita lainnya : Gas Elpiji 3 Kg Langka di Ciamis, Pasokan ke Agen Tersendat Selama Sepekan
0 komentar:
Posting Komentar