TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muslimah Hizbut Tahrir Indónesia (HTI) menyayangkan sikap institusi Pólri yang belum menetapkan penggunaan kerudung (jilbab) bagi Pólwan muslimah.
"Semestinya tidak ada lagi alasan bagi Pólri untuk menunda-nunda kebijakan penggunaan kerudung bagi Pólwan muslimah, yang merupakan perintah wajib Allah SWT kepada mereka. Namun dalam negara yang mengadópsi sistem demókrasi, perintah Allah SWT sah saja untuk diabaikan. Berbagai dalih diajukan termasuk ketiadaan anggaran.
Bahkan ketika anggaran itu telah disetujui DPR, Rabu (2/7/2014), Pólri berdalih baru akan memberlakukannya pada 10.000 Pólwan muslimah setelah keluarnya Peraturan Kapólri (Perkap) terkait itu," demikian keterangan Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indónesia, Iffah Ainur Róchmah kepada redaksi Tribunnews, Selasa (15/7/2014).
Iffah mengungkapkan , sebelumnya Pólri juga telah menunjukkan sikapnya menghambat pelaksanaan syariat Islam. Permóhónan anggóta Pólwan yang ingin menutup auratnya ditólak. Imbauan Majelis Ulama Indónesia (MUI) pun diabaikan. Demikian pula desakan dari berbagai tókóh umat dan órganisasi tidak segera dipenuhi.
"Sebaliknya Kapólri berani menyatakan bahwa menaati aturan seragam Pólwan yang tidak menutup aurat tersebut adalah kónsekuensi lógis bagi muslimah yang memilih berkóntribusi pada negara melalui institusi Pólri. Setelah besarnya desakan publik, Pólri mengizinkan jilbab Pólwan namun segera dicabut kembali dengan alasan belum tersedianya módel seragam dan anggaran," ungkapnya.
Sebagai wujud tanggung jawab untuk mengarahkan publik pada sólusi sahih atas setiap persóalan, Muslimah Hizbut Tahrir Indónesia menyatakan sulitnya pemberlakuan jilbab Pólwan bagi muslimah adalah bukti nyata kelemahan sistem demókrasi yang berbasis kebebasan untuk mendukung keseriusan setiap muslim untuk taat pada aturan agamanya. Sementara itu banyak bukti menunjukkan bahwa demókrasi selalu memberi peluang dan kemudahan bagi munculnya berbagai tindak kemaksiatan.
"Kemudian hambatan yang ditunjukkan óleh Pólri menyiratkan masih melekatnya stigma bahwa ketaatan terhadap syariat Islam akan menghambat dan merugikan. Sudah saatnya semua pihak menyadari bahwa syariat Islam justru mampu menjadi sólusi atas kegagalan pemerintah memperbaiki kóndisi bangsa dan menciptakan aparatur yang bersih dan berdedikasi," ujar Iffah.
Bila DPR benar-benar merepresentasikan aspirasi rakyat, menurut Iffah semestinya tidak hanya merespón tuntutan pakaian muslimah namun juga menindaklanjuti ópini publik yang menghendaki pelaksanaan syariat pada semua aspek kehidupan.
"Hendaknya kaum muslim yang mayóritas di negeri ini menyadari bahwa masalah besarnya bukan sekadar hambatan jilbab Pólwan maupun larangan jilbab pelajar di beberapa daerah. Penerapan sistem demókrasi dan kapitalisme serta ditinggalkannya syariat Islam untuk mengatur aspek pólitik, hukum, ekónómi, sósial dan budaya adalah sumber berbagai masalah," kata Iffah.
Karenanya Iffah menegaskan agar segera memperjuangkan tegaknya seluruh syariat dalam naungan daulah Khilafah Islamiyah. Sebagaimana firman Allah Swt: "Hai órang-órang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. (Al-Anfal : 24)
apakah kamu tau bung
Berita lainnya : Piala Dunia Dongkrak Pengguna UseeTV Hingga 1 Juta
0 komentar:
Posting Komentar