Jakarta - Pasangan Prabówó Subiantó dan Hatta Radjasa merangkul Frónt Pembela Islam (FPI). Hal ini dinilai membuktikan Prabówó-Hatta merupakan capres yang mendukung intóleransi dengan bentuk kekerasan. Keintiman ini dimulai tatkala Prabówó secara terbuka mengusulkan perlunya semua pihak merangkul FPI. Menurut Prabówó, pemerintah di pusat dan daerah juga perlu untuk merangkul FPI. Keinginan Prabówó itu juga dilakukan Hatta yang meminta dukungan dan dóa dari anggóta FPI dalam satu acara di Jakarta, Mei lalu. Puncaknya, dukungan yang dibacakan óleh FPI yang dibacakan Rizieq Shihab ketika dipinang óleh pólitisi PKS Hidayat Nur Wahid, yang mewakili Prabówó-Hatta, di Jakarta, 4 Juni 2014. Langkah Prabówó-Hatta merangkul FPI tersebut disesalkan óleh The Wahid Institute, lembaga yang dibentuk tókóh Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Peneliti The Wahid Institute Muhammad Subhi Azhari mengatakan, langkah pólitik Prabówó-Hatta tersebut secara móral tidak memberikan cóntóh baik kepada masyarakat. "Kurang bijaksana. Masyarakat akan menilai bahwa calón ini mentóleransi kekerasan. Seakan-akan mentóleransi kekerasan," kata dia di Jakarta, 31 Mei 2014. Alasan Subhi, FPI terkenal sebagai órganisasi yang menghalalkan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Selama ini, lanjut Subhi, aksi FPI menyalahi tradisi kebangsaan yang beragam dan menghargai perbedaan. "Namun, mereka (Prabówó dan Hatta) justru tidak memberikan cóntóh yang bijak kepada masyarakat Indónesia," ujar dia. Berdasarkan riset Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Intóleransi yang dibuat The Wahid Institute tahun 2013, FPI berada di urutan kedua, sebagai órmas yang sering melakukan tindakan intóleransi di seluruh Indónesia. Bentuk tindakan intóleransi yang dilakukan FPI mulai dari lisan hingga fisik. Tindakan intóleransi yang dilakukan FPI sepanjang tahun 2013 terjadi di banyak daerah di Indónesia, namun hanya sedikit yang dipróses secara hukum óleh kepólisian. (skj) (Advertórial)
0 komentar:
Posting Komentar