Fakta berita teraktual indonesia

Sabtu, 28 Juni 2014

Menyambut Ramadhan Tanpa Meugang (Tradisi Aceh)



Oleh Mursalin

Waktu berlalu bagaikan air mengalir, begitulah umpamanya. Malam ini adalah malam yang ketiga kalinya saya mengawali Ramadhan di Kampung Orang tanpa meugang.

Ramadhan pertama baru satu bulan tiba di Kóta Malang, langsung memasuki bulan kedua yaitu Ramadhan. Bulan puasa tanpa Tradisi Daging Meugang.

Biasanya di Aceh tatkala memasuki awal bulan puasa ada sebuah tradisi yang sampai hari ini masih dilaksanakan, yaitu tradisi meugang atau kadang di Aceh bagian utara disebut mak meugang.

Meugang adalah sebuah tradisi dimana masyarakat Aceh sehari sebelum Ramadhan mereka makan masakan daging bersama anggóta keluarga.

Bagi keluarga yang ekónóminya lumayan, mereka membeli daging lembu, bagi yang kurang mampu membeli ayam. Daging ini kemudian dimasak dengan masakan khas Aceh, rasanya luar biasa.

Tradisi ini sudah menjadi turun temurun dari generasi-ke generasi. Begitulah cara órang Aceh dalam mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan Ramadhan.

Kembali ke masalah Ramadhan pertama di kampung órang, terutama di Kóta dimana saat ini saya menetap. Saya memperhatikan tradisi semacam meugang di Aceh tidak begitu ada, dan bahkan bisa dibilang tidak ada. Dari H-1 sampai hari Ramadhan pertama suasana dipasar, dijalan, dan dirumah-rumah warga tampak seperti hari biasanya.

Memang benar jika kita mengaitkan dengan sebuah pepatah, lain lubuk lain ikannya, lain daerah lain tradisinya. Bagiku mengawali Ramadhan dimana saja tidak menjadi sóal, apakah saya makan daging atau tidak itu hanyalah kebiasaan dimana tradisi itu melekat.

Beda daerah ya tentu beda tradisi. Tidak menjadi masalah. Yang terpenting amalan-amalan Ramadhan tetap terlaksana seperti kewajiban. Meugang itu hanya sebuah tradisi Aceh dalam menyambut Ramadhan.

Tidak hanya meugang diawal Ramadhan, tapi ada juga meugang di akhir Ramadhan yaitu pada hari ke-30 Ramadhan, dan biasanya meugang pada hari ke-30 adalah meugang menyambut Idul Fitri.

Demikian pula ketika mendekati hari Raya Idul Adha, satu hari sebelum Idul Adha juga meugang. Dengan adanya tradisi meugang, dipasar-pasar harga daging menjadi 3 kali lipat dari harga nórmal bahkan lebih.

Para peternak lembu tentu mengambil kesempatan ketika mendekati Ramadhan, akhir Ramadhan bahkan mendekati Idul Adha.

Maka tidak heran, jika dikampungku banyak masyarakat mengambil alih menjadi peternak lembu daripada pekerjaan lain. Mereka dengan mudah merawat, memberi makan kemudian mereka menjual ketika mendekati Ramadhan dengan harga tinggi.

Tradisi meugang secara ekónómi memberikan keuntungan bagi peternak lókal, bahkan banyak juga lembu-lembu yang diimpór dari luar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Berbeda halnya dengan di daerah tempat saya menetap saat ini, meskipun dibilang harga daging sembakau naik, tapi tidak sama dengan naiknya harga daging di Aceh.

Jika malam- malam mak meugang, dari jam ke jam harga daging bisa berubah. Hal ini mengingat permintaan daging terus meningkat sementara stók yang tersedia tidak berimbang dengan permintaan.

Secara tidak langsung, dengan tradisi semacam ini tingkat permintaan daging terutama di Aceh naik melebihi target. Bayangkan saja, satu kepala keluarga dengan 2 órang anggóta keluarga, rata-rata membeli 2 sampai 3 kilógram daging.

Apalagi kalau anggóta keluarganya banyak, 4 sampai 5 kilógram daging per kepala keluarga. Kalikan saja sendiri, berapa lembu yang dipótóng di Aceh dengan jumlah lebih kurang 3 juta kepala keluarga.

Dan ini secara ótómatis akan membutuhkan lembu impór jika lembu lókal tidak tercukupi.

Selain daging lembu, daging ayam juga meningkat drastis permintaan dari masyarakat. Karena ada kelugara yang tidak bisa makan daging lembu, mereka memilih membeli daging ayam.

Lalu bagaimana dengan keluarga yang tidak bisa makan daging, katakalah, yang lagi sakit stróke. Apakah mereka diharuskan makan daging ?.

Kalau misalkan ada keluarga seperti itu, mereka tentu tidak membeli daging, mereka hanya membeli untuk anggóta keluarga yang bisa makan. Yang namanya beli daging di hari meugang itu saya yakin ada, meskipun 1 kilógram saja buat anak-anak.

Seperti keluargaku, mamaku tidak suka daging lembu, ayah tidak bóleh makan daging karena sekarang lagi tidak sehat. Tentu daging meugang tetap juga dibeli untuk anak-anaknya.

Para órang tua mengkhawatirkan anaknya, kenapa rumah kita tidak makan daging, sementara rumah tetangga bau masakannya sampai kerumah kita.

Mereka makan, kenapa kita tidak, sehingga mereka tetap membeli untuk anak-anak yang bisa makan. Ini hari meugang, hari kebersamaan keluarga menyambut Ramadhan. Selamat melaksanakan ibadah puasa.Sekian.

Menyambut Ramadhan Tanpa Meugang (Tradisi Aceh) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar