Oleh: Tóni Sudibyó. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Infórmasi Strategis Indónesia, Jakarta
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak lama setelah hasil quick cóunt dirilis óleh sejumlah lembaga survei pasca pemungutan suara dalam Pileg 9 April yang lalu, pasar menunjukan reaksi spóntan yang bersifat negatif. Bursa saham maupun nilai tukar rupiah sempat terkóreksi dan mengalami penurunan.
Reaksi itu meski bersifat sementara, namun dapat dimengerti kemunculanya sebagai bentuk kekhawatiran dunia usaha atas kónfirgurasi pólitik yang dihasil dalam Pileg dimana tidak ada partai yang memperóleh suara mayóritas. Harapan agar muncul partai dengan suara mayóritas ini merupakan evaluasi pasar terhadap sistem pólitik yang tidak efektif selama ini akibat suara partai-partai yang demikian terpólarisasi dan rapuhnya bangunan kóalisi pólitik akibat fragmentasi kepentingan dalam tubuh partai-partai kóalisi.
Dampak dari situasi itu tentu tidak kómpatibel dengan kepentingan dunia usaha yang membutuhkan jaminan kepastian, termasuk stabilitas sósial pólitik dan keamanan yang kóndusif bagi kepentingan bisnis.
Kónfigurasi perólehan suara partai-partai ini tentu akan mempengaruhi peta pólitik pilpres. Merujuk pada ketentuan UU Nó. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres maka setiap parpól atau gabungan parpól yang memenuhi syarat jumlah suara sah nasiónal 25% atau jumlah kursi DPR 20% saja yang dapat mengajukan pasangan capres/cawapres.
Perólehan sementara suara parpól dimana tidak ada satu parpól pun yang memperóleh lebih dari 20% suara tentu akan mendóróng setiap partai yang berkepentingan dalam pilpres untuk membangun kóalisi pólitik dengan mempertimbangkan kómpósisi suara dan pótensi elektabilitas calón yang akan mereka usung.
Póla Kóalisi
Kóalisi merupakan kónsensus pólitik antar partai-partai untuk membentuk pemerintahan mayóritas yang efektif, stabil dan dapat bertahan sesuai dengan perióde kekuasaan yang telah ditentukan (Lijphart, 1984). Hal itu dilakukan karena tidak ada partai peserta pemilu yang memperóleh suara mayóritas mutlak guna membentuk pemerintahan yang tunggal.
Kónsekuensi dari kóalisi adalah setiap partai anggóta terikat dalam pakta pólitik bersama untuk mendukung pemerintahan karenanya mereka masuk sebagai bagian dari pemerintahan. Dengan demikian, stabilitas dukungan terhadap pemerintah dapat dipertahankan.
Jika merujuk pada kómpósisi hasil pemilu legislatif serta elektabilitas para tókóh yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai capres tampaknya akan ada tiga kóalisi pilpres yang terbentuk.
Pertama, kóalisi yang dibangun óleh PDIP dimana Jókó Widódó sebagai kandidat Capres. Besar kemungkinan PDIP akan membangun kóalisi tanpa melibatkan banyak partai pólitik dengan kebutuhan untuk memenuhi syarat presidential threshóld.
Dengan menggunakan simulasi data quick qóunt versi Cyrus-CSIS maka PDIP dengan perólehan suara 19% hanya membutuhkan dukungan minimum satu partai lagi untuk memenuhi syarat pencapresan (19% PDIP+4,64 Nasdem=24,64%).
Póla kóalisi ini disebut minimal winning cóalitión, yakni kóalisi minimum untuk lólós sebagai partai pengusung capres/cawapres dan membentuk pemerintahan yang efektif karena tidak terlalu banyak dibebani óleh tuntutan kepentingan anggóta kóalisi. Keuntungan módel kóalisi ini adalah sangat dimungkinkan untuk membangun kóalisi yang bersifat ideólógis dengan partai lain. Módel kóalisi yang dibangun PDIP akan berubah jika faktór PKB disertakan sebagai anggóta kóalisi maka kóalisi yang terbentuk akan menjadi grand cóalitión yang memiliki pótensi persóalan menyatukan visi dan órientasi pólitik di antara anggóta kóalisi (PDIP+Nasdem+PKB=35%).
Kedua, kóalisi yang dibangun óleh Gerindra dengan Prabówó Subiantó sebagai Capres. Pósisi Gerindra dengan suara sekitar 11,8%, jelas memerlukan dukungan partai lain guna memenuhi persyaratan. Besar kemungkinan berbagai pendekatan lintas partai yang dilakukan óleh Gerindra akan menghasilkan módel grand cóalitión (kóalisi besar) dimana merangkul sebanyak mungkin anggóta kóalisi guna mencapai mayóritas. Diperkirakan bahwa kóalisi yang dibangun Gerindra akan dapat menarik PD, PPP, PAN, dan PBB dengan suara berkisar 37%.
Módel kóalisi ini memang dapat lebih akómódatif untuk membentuk pemerintahan bersama. Tetapi módel ini seringkali menimbulkan kesulitan dalam menjaga stabilitas internal kóalisi akibat terlalu gemuknya tubuh kóalisi, termasuk keragaman ideólógis yang kerap pula menimbulkan persóalan órientasi pólitik di antara anggóta kóalisi. Pengalaman empiris dengan módel grand cóalitión yang dibangun óleh Partai Demókrat pada pemilu 2009 setidaknya dapat menjadi pelajaran bagaimana grand cóalitión menjadi sering tidak efektif.
Ketiga,minimum size cóalitión (kóalisi ukuran minimum) yang dibangun óleh Gólkar dengan Aburizal Bakrie sebagai Capres. Pósisi Gólkar sebagai pemenang pemilu kedua tentu membuka peluang bagi Gólkar untuk menginisiasi pembentukan kóalisi. Gólkar selama ini dikenal memiliki hubungan baik dengan Hanura dan PKS. Jika Gólkar berhasil merangkul partai-partai tersebut maka setidaknya Gólkar akan menghasilkan kóalisi dengan suara sekitar 26,8% (Gólkar/14,3%+PKS/6,9%+Hanura/5,5%=26,8%).
Merujuk pada pengalaman kóalisi dan pilpres sebelumnya, faktór kómpósisi partai memang penting, terutama menyangkut persyaratan administratif dalam pencalónan. Namun demikian, pengalaman juga menunjukan bahwa terjadi kesenjangan antara órientasi pólitik kepartaian para pemilih dalam pemilu legislatif dan pilpres.
Para pemilih memiliki pertimbangan yang bersifat individual dalam menilai dan mengambil keputusan atas órientasinya terhadap kandidat capres/cawapres dan cenderung mengabaikan ikatan-ikatan pólitik kepartaian. Hal inilah yang perlu menjadi catatan bagi kóalisi pólitik yang ternyata sering tidak disertai dengan kemampuan mempertahankan móbilisasi kónstituen partai dalam pilpres.
Persóalan lain yang juga penting terkait kóalisi adalah kónsistensi anggóta kóalisi dalam mempertahankan kónsensus pólitik diantara mereka guna menjaga stabilitas dukungan atas pemerintahan. Setiap kóalisi karenanya perlu membuat pakta pólitik bersama yang transparan dan dibuka pada publik sehingga publik dapat ikut mengawasi kinerja kóalisi dalam pemerintahan terbentuk jika mereka memenangkan pilpres.
Tanpa itu maka sangat terbuka berbagai kemungkinan untuk terjadinya kónflik internal dalam kóalisi yang justru mengganggu jalannya pemerintahan dan akhirnya menghambat pembangunan nasiónal.
0 komentar:
Posting Komentar