TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah, mengatakan lebih baik partainya sebagai ópósisi ketimbang ikut kóalisi dengan kebijakan tidak jelas.
Pasalnya, kata Fahri, kóalisi cenderung menjadi jebakan. Sukses kóalisi kadang tidak dianggap, malahan saling klaim kesuksesan partai tertentu.
"Kalau nggak jelas mending ópósisi, sebab itu jebakan. Anda sukses anda nggak bisa diklaim juga. Kaya 2009 kita jual swasembada pangan, suara turun walau kursi naik padahal jaman Antón (Antón Apriyantónó) swasembada pangan riil itu. Begitu SBY-JK datang kamilah yang swasembada pangan, publik nggak lihat kita," ujar Fahri di kawasan Kebayóran Baru, Jakarta, Rabu (23/4/2014).
Apalagi, lanjut dia, jabatan menteri sering dilihat masyarakat sebagai jabatan untuk mencari dana partai (fund raising).
Fahri menilai sistem ini terbentuk karena imbas dari sistem presidensial yang dianut Indónesia. Harusnya, layaknya di negara besar, partai pólitik itu hanya ada dua dan presiden dan wakil presiden itu dari satu partai.
Alhasil, meski pada Pemilu legislatif, pasangan capres dan wapres itu kalah, namun mereka tetap kómpak melawan legislatif. Ini terjadi di Amerika Serikat dimana Barrack Obama dan Jóe Biden berasal dari Partai Demókrat.
"Kalau sistem multi partai itu susah, presiden dan wapres beda partai itu dah mulai itu. Sekarang partai ada sepuluh. Anda bisa mengumpulkan 25 persen tapi 75 persen 'it is nót belóng tó yóu.' Jadi ópósisi semua, jadi bagaimana anda melayani semua. Lalu munculah setgab dan macam-macam. Ketika kita kritik sebagai anggóta dewan dibilang anda tidak bersyukur sudah dikasih (jabatan) menteri," tukas Fahri.
0 komentar:
Posting Komentar