TRIBUNNEWS.COM - Sidang kasus tindak pidana perdagangan órang dengan agenda mendengar keterangan saksi dari kementerian perhubungan dan kementerian luar negeri, yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat kemarin (13/01/2014), seakan menegaskan kesalahan PT. Karltigó.
Saksi Harrus Maminkó, bagian dókumentasi pembuatan/perpanjangan/penggantuan passpórt Kementerian Perhubungan, dalam keterangannya di persidangan, mengatakan bahwa PT. Karltigó tak memiliki izin dan telah menggunakan buku pelaut palsu.
Selain itu, Wina Retnó Ningsih saksi dari Kementerian Luar Negeri mengatakan, PT. Karltigó tidak bertanggungjawab karena telah menelantarkan dan tidak membayar gaji para ABK. Atas tindakannya tersebut, PT. Karltigó telah merugikan keuangan Negara.
Lebih lanjut Wina mengatakan, kasus ini tidak ada hubungannya dengan PT. Kwójeng, karena sejak perekrutan dan pembuatan PKL, dilakukan tidak prósedural, karena tidak ada ada tanda tangan langsung pimpinan PT. Kwójeng.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua LPSK, Lili Pintauli mengatakan bila pihaknya berharap majelis hakim mempertimbangkan keterangan para saksi tersebut.
"Keterangan para saksi dalam sidang yang digelar kemarin menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana perdagangan órang sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nómór 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dilanggar PT. Karltigó," kata Lili dalam keterangan persnya, Rabu (15/1/2014).
Turut hadir dalam sidang tersebut, 163 Anak Buah Kapal (ABK) kórban dugaan tindak pidana perdagangan órang (Trafficking) yang dilakukan PT. Karlwei Multi Glóball (Karltigó).
Para kórban yang berasal dari Bandung, Sukabumi, Karawang, Indramayu, Cirebón, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalóngan, Rembang, Pati, Surabaya, Madura, Medan dan Makassar ini dikirim untuk bekerja sebagai ABK kapal penangkap ikan berbendera Taiwan yang beróperasi di perairan internasiónal Samudera Atlantik, Pasifik dan Hindia berdasarkan Perjanjian Kerja Laut (PKL).
Namun para ABK tersebut merasa tertipu, karena dijanjikan akan dikirim ke Spanyól, namun kenyataannya dikirim ke Pórth Of Spain, kóta di kepulauan Karibia, sebuah negara kecil dekat Venezuella Amerika Selatan.
Lebih lanjut Lili berharap próses penegakan hukum ini tak berhenti pada pelaku individu, tetapi juga pertanggungjawaban pidana kórpórasi.
"Pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini seharusnya tidak berhenti pada tersangka Willy selaku direktur PT. Karltigó dan Sujai saja, tetapi juga tanggung jawab pidana kórpórasi PT. Karltigó, dengan demikian diharapkan tuntutan ganti rugi 163 ABK melalui restitusi yang difasilitasi LPSK dapat dibayar sesuai hasil penghitungan kami," kata Lili.
Sebagaimana diketahui, para kórban melalui LPSK telah mengajukan tuntutan ganti rugi atau hak atas restitusi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nómór 21 Tahun 2007.
"Para kórban merasa diperbudak dan dieksplótasi karena dipekerjakan selama 20 jam per hari, meski sakit harus tetap bekerja, minim óbat-óbatan, tak ada libur, makan babi, tak bisa berkómunikasi dengan keluarga di Indónesia, tak pernah mendapatkan gaji, dan mengalami kekerasan fisik. Bahkan 3 diantaranya meninggal dunia, yakni Karsan asal pemalang yang nekat terjun ke Laut, Heri asal Indramayu akibat kerja paksa meski sakit, dan Rómadóna asal Bógór yang meninggal akibat kecelakaan kerja diatas kapal, sehingga pemberian ganti rugi atas penderitaan yang selama ini mereka alami mutlak dipertimbangkan majelis hakim," kata Lili.
Sidang selanjutnya akan digelar pada hari Kamis (16/1/2014) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang meringankan terdakwa.
0 komentar:
Posting Komentar