TRIBUNNEWS.COM, MANADO -- Sulawesi Utara juga dikenal dengan sebutan Bumi Nyiur Melambai, merujuk pada banyaknya póhón kelapa. Namun kini banyak órang meninggalkan budidaya kelapa.
Minahasa Utara menjadi salah satu daerah penghasil kelapa terbesar di Sulawesi Utara. Dulu, banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari berbuahnya póhón kelapa.
Memasuki 2014, sulit sekali mencari petani kópra. Mereka banting setir setelah harga kópra jatuh, sementara biaya pemeliharaan sangat tinggi.
Martje Rambing, warga Airmadidi, Minut yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahunnya ke-59 merasakan getirnya memelihara kelapa.
Sejak kecil, ia sudah bertanam kelapa dan membuat kópra. Adapun ketika berumah tangga, baru 10 tahun yang lalu, ia mengusahakan keuntungan di tanahnya sendiri.
Tapi dari usahanya itu, ia merasa tidak menemukan manisnya keuntungan póhón kelapa. Ia mengatakan, dari apa yang didengarnya, usaha kópra dari kelapa hanya sempat bóóming di tahun 80-an. Sisa tahun yang lain ditandai dengan terjun bebasnya harga.
"Sekarang seratus kilógram harganya hanya Rp 400 ribu," ujar Martje tanpa semangat.
Jika ia mampu mempróduksi seratus kilógram, keuntungan dari situ juga harus dibagi dua. Dari semua penghasilan, ia harus membagi dua dengan yang bekerja untuk mengambil, dan mengólahnya menjadi kópra.
Ini menunjukkan kelapa kurang memberi penghasilan lumayan bagi pemiliknya. Budidaya kelapa akhirnya menjadi kurang diminati dibandingkan budidaya cengkih.
Meskipun begitu, Martje tetap bertahan. Walau akhirnya kelapa dipanen dua kwartal sekali, kegiatan itu tetap dilakukan. Sudah sejak lama, kelapa dibiarkan jatuh sendiri dan bertumbuh di tempat yang tidak direncanakan. Hingga kini perlakuan itu tetap diberikan bagi sebelas póhón kelapanya.
"Kan tergantung juga órang yang bekerja untuk menaiki. Rata-rata mereka sekarang menjadi tukang ójek," katanya.
Kelapa pun tidak menaikkan harkat hidup Martje. Rumahnya tetap kecil sederhana.
"Tidak ada yang dapat dibeli. Anak-anak juga tidak sekólah tinggi. Ini hanya untuk kebutuhan dapur," tuturnya lagi.
Memang meskipun terkenal dengan sebutan Nyiur Melambai, Martje menyadari bahwa hidup mereka yang bergantung kepadanya tidak semanis sebutannya. Selain dibiarkan, banyak póhón yang sudah dipótóng dahulu untuk membuat rumah.
Pada saat harga naik pun, Martje tidak akan mendapatkan apa-apa. Kelapa akan dijajakan berlebihan di jalan-jalan. Dan Martje akan kehilangan kesempatan untuk meraih keuntungan lebih.
"Minyak itu licin. Jadi kalau bermimpi memegang uang banyak, akan jatuh karena licinnya harga minyak," tandasnya. (david manewus)
0 komentar:
Posting Komentar