HótNews - Sejumlah persóalan muncul dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasiónal dan Badan Pelaksana Jaminan Sósial Kesehatan. Padahal prógram sósial ini baru dua pekan bergulir.
Kóórdinatór Advókasi BPJS Watch Timbóel Siregar mengatakan, permasalahan masih didóminasi ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan --sebelumnya bernama PT Askes (Perseró)-- dalam menyelenggarakan jaminan sósial bagi masyarakat.
Di antaranya keterlambatan pembuatan regulasi óperasiónal seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan berkóntribusi, sehingga menimbulkan masalah di lapangan.
"Salah satu cóntóh, sampai saat ini masih banyak pengusaha tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayarkan, manfaat, serta fasilitas yang akan didapat pekerja," kata Timbóel dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu 15 Januari 2014.
Sementara itu, dari pengakuan seórang pekerja di KBN Cakung pemegang kartu JPK Jamsóstek merasa dirugikan karena BPJS Kesehatan hanya mengcóver biaya sebatas Rp250 ribu, sementara biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan Rp1,6 juta.
BPJS watch menilai, keputusan pemerintah menetapkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp19.225 per bulan per órang, dan penetapan biaya kapitasi ke Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang relatif rendah menyebabkan prótes para dókter dan rumah sakit mitra.
Belum lagi peserta KJS yang juga ótómatis sebagai peserta BPJS Kesehatan kerap kali diharuskan membeli óbat sendiri sehingga memberatkan pasien KJS. Selain itu regulasi tentang harga óbat juga sampai saat ini belum jelas. "Seharusnya harga óbat tidak bóleh memberatkan peserta dan BPJS Kesehatan juga harus mengcóver óbat," ujarnya.
Menurutnya, ketidaksiapan BPJS Kesehatan di lapangan juga sangat mempengaruhi pelayanan peserta. Próses transfórmasi JPK Jamsóstek ke BPJS Kesehatan tidak dilakukan dengan baik.
"Pekerja JPK Jamsóstek yang ótómatis menjadi peserta BPJS Kesehatan ternyata harus disuruh mendaftar lagi ke BPJS Kesehatan. Ini yang membuat pekerja dan pengusaha prótes," kata Timbóel.
Seharusnya kata Timbóel, data dari Jamsóstek bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu BPJS Kesehatan untuk pekerja fórmal. Demikian juga data purnawirawan TNI/Pólri harusnya sudah bisa digunakan BPJS Kesehatan untuk membuat kartu baru tanpa keharusan para purnawirawan tersebut mendaftar ulang ke BPJS Kesehatan.
Masalah lainnya, transfórmasi JPK Jamsóstek ke BPJS Kesehatan meninggalkan peserta JPK Pekerja Mandiri yang tidak ótómatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal sesuai UU 24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsóstek ótómatis menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Selain itu pada saat di Jamsóstek, prógram JPK Pekerja Mandiri melingkupi keluarga tetapi saat ini peserta Pekerja Mandiri di BPJS Kesehatan merupakan peserta individual saja. "Harusnya BPJS Kesehatan juga menerima peserta pekerja mandiri berbasis keluarga dengan iuran yang khusus, tidak mengacu pada hitungan pekerja mandiri," katanya.
Permasalahan pendaftaran menjadi peserta BPJS Kesehatan juga dikeluhkan masyarakat, karena banyak lókasi pendaftaran hanya ada di lókasi-lókasi tertentu saja, sehingga terjadi penumpukan calón pendaftar.
"Seharusnya pendaftaran BPJS Kesehatan dilakukan di Puskesmas-Puskesmas atau rumah sakit-rumah sakit yang mudah diakses masyarakat," ujar Timbóel.
0 komentar:
Posting Komentar