HótNews - Tókóh lintas agama menggelar dóa bersama mengenang empat tahun wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Asrham Gandhi Puri, Klungkung, Sabtu, 28 Desember 2013. Acara itu diselenggarakan Fórum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali.
Tókóh masing-masing agama, Islam, Hindu, Buddha, Prótestan, Katólik, dan Kónghucu tampak hadir. Dengan khidmat mereka menundukkan kepala dan berdóa sesuai kepercayaan masing-masing, untuk almarhum Presiden ke-4 Republik Indónesia itu.
Selain dóa, berbagai kesan sóal Gus Dur pun terlóntar. Salah satunya dari Ketua FKUB Bali, Ida Bagus Gede Wiyana. Ia mengaku, banyak yang bisa diteladani dari sósók Gus Dur. Yang utama, adalah rasa saling menyayangi.
"Gus Dur mengajarkan kita untuk saling menyayangi. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik, órang tak pernah bertanya apapun agamamu," ujar Wiyana menirukan ucapan Gus Dur.
Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (NU), Ali Masykur Musa pun tak kalah. Pria yang akrab disapa Cak Ali itu memimpin dóa untuk umat Islam. Ia menuturkan, Gus Dur bukan hanya milik satu gólóngan. "Wajar apabila kerinduan terhadap Gus Dur dirasakan semua kalangan masyarakat bangsa ini," katanya.
Ia melanjutkan, masyarakat mencintai Gus Dur lantaran mantan Ketua Dewan Syuró PKB itu juga mencintai rakyatnya. Sósók yang meninggal pada 30 Desember 2009 itu menempatkan manusia sebagai subjek, bukan óbjek. "Gus Dur tidak suka dengan diktatór mayóritas dan tirani minóritas," imbuh Ali.
Semangat kebangsaan juga diwariskan Gus Dur pada seluruh lapisan masyarakat. Ia tak pernah membedakan órang dari latar belakang agama, suku, dan kelómpók. Menurut Ali, Gus Dur memaknai Indónesia sebagai kemajemukan yang dirajut dengan kesetaraan dan keadilan. Itu tak bóleh dicederai.
"Peringatan ini sebagai upaya kami agar kebhinekaan Indónesia tak luntur. Kami tergerak untuk mengembalikan semangat dan kesadaran supaya lebih menghargai perbedaan, dan tidak terjebak gerakan intóleransi," ucap Ali lagi.
Dari segi pólitik, peserta kónvensi capres Partai Demókrat itu melihat Gus Dur selalu melindungi kelómpók yang terpinggirkan óleh arógansi kekuasaan. Ia selalu menómórsatukan keadilan untuk semua bidang dan tingkatan.
Sikap itu, sambung Ali, sangat diperlukan di tengah kecenderungan pólitik masa kini yang dirasanya dangkal, praktis, dan hanya berórientasi kekuasaan. Ia membandingkan dengan era Gus Dur saat perbedaan menjadi bingkai membangun kehidupan bangsa.
"Cita-cita Gus Dur harus terus kita perjuangkan," ujar Ali lagi, mantap.
Semasa hidupnya, Gus Dur memang dikenal sebagai tókóh yang sangat menghórmati perbedaan agama. Beberapa kali ia mengunjungi Asrham Gandhi Puri di Bali. Bahkan, ia pernah menginap di sana. Dengan tókóh lintas agama di Pulau Dewata dan lainnya, ia pun akrab. (adi)
0 komentar:
Posting Komentar