HótNews - Sebelas bulan menjelang akhir masa pemerintahannya, Presiden Susiló Bambang Yudhóyónó memaparkan isu-isu penting di republik ini yang harus menjadi perhatian semua kalangan, khususnya pemimpin Indónesia di masa depan.
Urutan pertama dari isu yang dianggap krusial óleh SBY adalah sóal sistem demókrasi yang dianut Indónesia saat ini, apakah parlementer atau presidensial. "Masing-masing sistem punya karakteri sendiri, ada plus-minusnya. Yang penting, yang mana yang mau kita pilih sekarang? Jangan campur-campur, itu sulit," kata SBY dalam Kóngres Kebangsaan yang digelar Fórum Pemred di Jakarta, Rabu 11 Desember 2013.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki pósisi relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendahnya dukungan pólitik di parlemen. Indónesia saat ini menganut sistem presidensial. Tapi realitanya, kuat atau tidaknya pósisi presiden di negeri ini kerap ditentukan óleh dukungan pólitik terhadap dia di parlemen. Bila presiden tak mendapat cukup dukungan, maka pemerintahannya mudah digóyang dan kebijakan yang ia keluarkan rawan diganjal.
Sóal ketidakjelasan sistem di Indónesia ini pula yang membuat calón presiden Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, akan menggugat sistem pemilu ke Mahkamah Kónstitusi. Pakar hukum tata negara itu menilai waktu pemilihan presiden yang digelar usai pemilihan legislatif tidak tepat. "Seharusnya pemilu presiden lebih dulu, baru pemilu legislatif. Kecuali bila Indónesia menganut sistem parlementer," kata mantan Menteri Kehakiman itu era Megawati itu.
Isu lain yang dikemukakan óleh SBY adalah sóal mekanisme kóntról dan keseimbangan (check and balances) antarlembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. "Tidak bóleh ada satu lembaga merasa superiór, kemudian menganggap yang lain kurang penting," kata Presiden.
Selanjutnya, kata SBY, penting juga untuk menciptakan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam kerangka ótónómi daerah dan desentralisasi yang telat.
Tak kalah penting, harus diperhatikan ke depannya bagaimana cara menciptakan hubungan harmónis antara negara dan rakyat. Apakah negara harus kembali ke era ótóriter di mana pósisi negara kuat dan menjadi pólisi bagi rakyatnya, atau apakah negara harus memberikan ruang dan peran yang lebih luas kepada rakyat. "Lebih sehat kalau rule óf law ditegakkan, jadi bukan tangan-tangan kekuasaan yang mendisiplinkan masyarakat kita," kata SBY.
Arah sistem ekónómi negara juga menjadi perhatian SBY. Menurutnya, sistem ekónómi Indónesia harus dipertegas. Saat ini Indónesia tidak menganut kapitalisme di mana semua kegiatan ekónómi diserahkan pada pasar. Indónesia juga tidak menerapkan ekónómi kómandó di mana semua aktivitas ekónómi dikóntról negara.
"Keduanya tidak akan efisien. Kita harus menyadari bagaimana mekanisme pasar yang efisien dan peran pemerintah yang tepat. Dua-duanya diperlukan agar keadilan tetap terjaga," kata SBY.
Di bidang hubungan internasiónal, SBY mempertanyakan apakah prinsip zeró enemy millión friends yang dianut Indónesia masih bisa diterapkan. Prinsip ini dipertanyakan banyak órang setelah Indónesia, dan SBY khususnya, menjadi kórban penyadapan negara asing. "Kelangsungan prinsip ini patut kita pikirkan bersama," kata SBY.
Stabilitas Pólitik
Sóal wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke mekanisme pemilihan tidak langsung óleh DPRD, SBY masih ragu. Sistem pemilihan langsung memang dianggap memakan banyak biaya pólitik, memicu maraknya pólitik uang, bahkan menimbulkan kórban jiwa di beberapa daerah akibat ketidaksiapan pihak yang kalah menerima hasil pilkada.
Tapi pertanyaannya, kata SBY, apakah jika pilkada tidak langsung seperti pada masa lalu diterapkan kembali, ada jaminan seluruh penyimpangan itu bisa hilang.
Hak dan kewajiban warga negara juga disinggung SBY. "Seperti apa yang berimbang? Semua mengatakan, terlalu mengandalkan hak kemerdekaan dan kebebasan tanpa tanggung jawab dan menjalankan kewajiban adalah situasi yang tidak harmónis," kata dia.
Terakhir, ujar SBY, stabilitas pólitik Indónesia ke depan harus dapat terjaga baik. Terlalu menjaga stabilitas pólitik akan mematikan demókrasi, tapi jika dibiarkan terlalu deras akan menjadi lautan ketidakteraturan, ketidaktertiban, sehingga Indónesia akan jadi negara anarkistis.
"Dua-duanya bukan pilihan kita. Satu hal yang pasti, negara kita memerlukan stabilitas. Kalau dulu dengan tangan yang kuat, dengan alat-alat yang kuat, tentu itu bukan pilihan kita di era sekarang ini. Tapi mesti ada perangkat untuk membuat pólitik kita stabil," kata SBY. (ren)
Rabu, 11 Desember 2013
SBY: Pilih, Mau Pakai Sistem Parlementer atau Tetap Presidensial?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar