JPNN.com SURABAYA - Setelah terjadi pertempuran dengan Belanda pada 1750 yang menewaskan Kiai Badrun, perlawanan bagi kaum Muslim tak pernah surut.
Masjid Kemayoran yang menjadi tempat ibadah tetap dipertahankan. Meskipun Belanda kala itu risi dengan suara azan dan pengajian. Namun seiringnya waktu, titik kompromi pun disepakati. Belanda tetap mengizinkan beribadah tapi dengan syarat Masjid Kemayoran dipindah. Subhan, salah seorang takmir Masjid Kemayoran, menceritakan bahwa kebijakan Pemerintah Belanda tersebut mendapatkan persetujuan masyarakat. Masjid itu pun dipindahkan ke sebuah lahan di depan gedung DPRD Jatim. Dulu lahan tersebut merupakan milik tentara angkatan darat Belanda yang berpangkat mayor. Karena itu, warga setempat akhirnya menyebut kawasan tersebut sebagai Jalan Kemayoran yang diambil dari kata 'mayor'. "Masjid ini pun kemudian sering disebut Masjid Kemayoran," tutur Subhan seperti yang dilansir Radar Surabaya (Jawa Pos Group), Minggu (31/5). Sementara itu, sejarawan Surabaya, Dukut Imam Widodo, mengatakan bahwa bangunan Masjid Roudhotul Musawwaroh atau Masjid Kemayoran, kini jauh berbeda dengan bentuk aslinya dulu. "Sepertinya sudah banyak direnovasi untuk berbagai keperluan. Seperti yang tampak di ruang utama masjid," jelas Dukut. Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe itu menyayangkan adanya renovasi besar besaran terhadap masjid itu. Sebab, hal itu justru menghilangkan corak asli bangunan. "Masyarakat kita itu kalau mendirikan bangunan, rata-rata selalu disertai dengan perobohan bangunan asli dan mementingkan kemegahan. Padahal, kalau mau mempercantik kan bisa dengan menambah bangunan baru di sekitar masjid," tambah Dukut. (jan/han/sar/jee/awa/jpnn)
0 komentar:
Posting Komentar