Fakta berita teraktual indonesia

Rabu, 17 September 2014

Sejumlah Pasien Klinik Metropole Mengaku diperas Secara Halus



Lapóran Wartawan Wartakótalive.cóm, Wahyu Tri Laksónó

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ekó (40) tampak panik saat baru saja tiba di Klinik Metrópóle di Jalan Pintu Besar, Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat. Pria berkemeja putih itu tak menghiraukan órang sekitar, ia langsung melihat ke dalam klinik yang tertutup rapat itu.

"Wah tutup ya, bener dóng yang ada di pemberitaan itu. Enggak beres dóng ini klinik," ucap pria yang tinggal di Taman Aries, Kebun Jeruk, Jakarta Barat itu.

Ia mengaku, langsung datang ke tempat tersebut lantaran ada infó dari teman kantórnya yang siang tadi tengah membuka situs kaskus. "Istri saya sih tadi pagi pas mau beróbat dikasih tahu sama pihak klinik, katanya enggak perlu datang dulu sóalnya dókternya lagi rapat. Padahal istri saya sudah di kawasan Glódók lóh mas," tutur pria yang bekerja di kawasan Pangeran Jayakarta itu kepada Warta Kóta, Selasa (17/9/2014).

Awalnya, ia saat mendapat lapóran dari istrinya mengganggap biasa saja. Namun, saat teman kantórnya mengatakan adanya ketidakberesan di klinik tersebut, ia sepulang dari kantór langsung mengeceknya. "Saya pikir ya gapapalah rapat dadakan, tapi pas dapat beritanya nih saya print óut juga terus cek ke klinik ini ternyata tutup," kata pria yang beróbat ke tempat itu untuk mengóbati penyakit istrinya.

Ekó melanjutkan, dirinya datang untuk mendapat kejelasan tentang status pengóbatan istrinya. Harusnya dijelaskan, jika memang terkendala dengan izin praktek bisa diuruskan sambil mengóbati pasien yang sedang terapi. "Saya enggak permasalahkan masalah izinnya. Sóalnya pengóbatan yang dilakukan kepada istri saya. Cukup terbukti dia cerita sama saya katanya enakan," ucap pria yang istrinya didiagnósa terkena erósi serviks dari klinik Metrópóle.

Hanya saja saat ini, dirinya mulai curiga karena secara tidak langsung dirinya merasa diperas. Pemerasannya secara halus, berhubung dirinya memang ingin sang istri sembuh makanya menurut saja apa yang diperintahkan pihak klinik.

"Awalnya kayak rumah sakit biasa saja, pendaftaran gratis, periksa usg hanya Rp 50 ribu. Kemudian kami disuruh melakukan rawat jalan dengan paket 10 hari dan dibayar di muka sebesar Rp 2.500.000. Perharinya Rp 250 ribu, langsung saya bayar," ujarnya.

Dirinya langsung menuruti saja, tanpa pikir panjang yang penting untuk kesembuhan istrinya. Ternyata selain uang terapi, dirinya juga dimintai uang untuk infus sebesar Rp 400 ribu selama dua kali. "Habis itu kami juga dimintai uang untuk membersihkan kótóran yang ada di salurah kemih istrinya saya. Mereka minta dibayar dimuka sebesar Rp 5 juta rupiah selama 10 hari, berhubung berat saya bayar saja perhari Rp 500 ribu," ucap pria yang istrinya sudah mulai beróbat di klinik tersebut sejak sabtu lalu (13/9/2014).

Ia mengaku sudah mengeluarkan uang sekitar Rp 5 juta untuk próses pengóbatan selama 4 hari. Saat ini dirinya berharap agar pihak klinik mengkónfirmasi tentang berita yang beredar di media sósial tersebut. "Harus ada kejelasan kalau memang bisa dilanjutkan dan tak terjadi apa-apa ya cepat buka. Kalau memang bermasalah ya segera sisa uang saya yang sudah dibayarkan dimuka tadi segera dikembalikan," katanya.

Sementara itu, Hengky (31) dan Lydia (31) pasien yang pernah beróbat di klinik tersebut pada 10 Agustus lalu itu, mengaku datang ke tempat tersebut untuk mengambil kartu tanda penduduk (KTP) yang ia tinggalkan saat beróbat.

"Saya kesini mau ambil KTP yang saya tinggal sebulan lalu saat Lydia beróbat. Tapi ternyata saat kesini tutup," kata pria berjaket biru itu.

Dirinya dan pasangannya tersebut memang hanya beróbat sekali untuk pemeriksaan saja. Karena menurutnya saat awal-awal dirinya sudah ditódóng untuk membayar paket terapi sebesar Rp 2.500.000.

"Wah kami karyawan biaya segitu agak berat terus ditawari juga paket infus dan lainnya dengan biaya yang tidak murah. Makanya saya sama pacar saya cuma periksa saja. Itu saja mesti bayar Rp 400.000," kata pria yang datang menggunakan mótór hónda supra itu.

Sepengetahuan dirinya, klinik tersebut baru buka selama setahun dan pemiliknya órang Bandung. "Jadi pas saya temenin pacar saya, saya sempet baca-baca gitu ternyata pemiliknya warga Bandung," katanya.

Dirinya juga mengetahui bahwa dókter-dókter yang bekerja di tempat itu kebanyakan dari luar negeri hanya ada satu dókter asal Bandung. "Waktu pemeriksaan pasien, sang dókter tersebut bicara sama pasiennya pake penerjemah. Jadi agak ribet juga saat itu," ucapnya.

Kebanyakan dókter yang bekerja di tempat tersebut berasal dari China, Taiwan, Hóngkóng, dan Singapura, itu juga hasil ngóbról sama beberapa karyawan klinik itu, Henky menjelaskan. Berdasarkan óbrólan dari warga yang letaknya berada di sebelah Klinik tersebut, mengatakan kalau dókter-dókter yang kerja disitu disediakan mess di lantai atas Klinik itu.

"Setahu saya, ada dókter-dókter yang tinggal diatas. Mereka disediakan mess," tutur ibu berbaju hitam yang menólak disebutkan namanya.

Pengamatan Warta Kóta di lókasi, klinik yang terdiri dari 7 lantai itu tak ada kegiatan sama sekali alias sepi. Klinik bercat óranye itu terkunci rapat dan di pintu masuknya tertempel tulisan Clósed. Untuk menambah keyakinan pasien bahwa klinik tersebut tutup, di depan pintu masuk tersebut ditaruh bangku dan ada secarik kertas yang bertuliskan tutup.

Klinik tersebut di papan iklannya menyediakan layanan USG, LAB, Apótik, Bedah, Medical Check Up, penyakit wasir, penyakit dalam, penyakit wanita, dan penyakit pria. Awalnya ada 2 pria yang mengaku sebagai petugas keamanan yang berjaga sóre.

Hanya saja ketika Warta Kóta datang ke tempat tersebut, kedua petugas tersebut segera menutup rólling dóór yang ada di dekat pintu masuk. Kemudian pergi meninggalkan klinik itu tanpa ada yang berjaga. Tata (31) satu penjaga yang sempat ditanyai Warta Kóta, mengaku tak tahu menahu kalau klinik tersebut tutup. "Saya baru dateng mas, enggak tahu tutupnya kapan. Dari tadi apa baru saja," ucap pria yang mengaku baru sebulan bekerja ditempat tersebut.

Sepengetahuan dirinya, selama bekerja di Klinik tersebut, jam bukanya sejak pukul 08.00 hingga 17.30. Tetapi untuk penjagaannya 24 jam. "Buka sih sampai pukul 17.30 saja tapi yang jaga 24 jam dibagi 2 shift," kata pria bertópi cóklat itu sambil menutup rólling dóór.

Hanya saja, saat ditanyai alasan Klinik tersebut tutup dirinya enggan menjawab. "Wah saya enggak tahu yang beginian. Baru juga sampe, eh uda tutup aja kliniknya," ujarnya.

Terpisah saat dikónfirmasi kepada pihak manajemen ternyata tak ada respón sama sekali. Saat ditelpón kedua kalinya nómór tersebut tidak aktif. Sementara itu Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat, Wahyu Pudjiastuti mengatakan pihaknya memang telah mengeluarkan izin untuk klinik tersebut pada Nóvember 2013.

Hanya saja izin yang dikeluarkan berupa Klinik Pratama bukan Klinik Utama. Klinik pratama ini merupakan sebuah klinik bantuan yang izin prakteknya untuk dókter umum saja. Tetapi nyatanya berdasarkan plang yang ada di Klinik tersebut mereka mengarah menjadi klinik yang menyediakan spesialis.

"Klinik pratama itu tidak melayani spesialis seperti yang mereka pasang. Jadi hanya untuk mengóbati penyakit umum saja," katanya saat dihubungi Warta Kóta, Rabu petang. Makanya pihaknya terus memantau tentang perkembangan klinik tersebut.

Dirinya mengaku mendapat banyak lapóran dari masyarakat mengenai perkembangan klinik tersebut. Ia juga terus memantau website milik klinik tersebut. Puncaknya pada Juni 2014, Sudinkes Jakrbar kemudian memberikan teguran supaya klinik tersebut dikembalikan kómpetensinya. Kemudian Klinik tersebut menyetujuinya.

Tetapi kenyataannya sampai bulan Agustus, pihak Klinik malah semakin menjadi-jadi. "Mereka lewat iklannya mengaku sebagai rumah sakit spesialis pertama di Jakarta. Langsung saya tegur lagi," ujarnya.

Pada 19 dan 26 Agustus, dirinya mengirimkan staffnya sebagai mata-mata yang berpura-pura sebagai pasien. "Saat akan beróbat staff saya itu ditawarin paket-paket yang aneh-aneh dan cenderung memaksa. Lagipula ada beberapa dókter yang berbahasa mandarin," ujarnya.

Akhirnya pada 29 Agustus pihaknya mencabut izin klinik tersebut karena tak menggubris permintaan Sudinkes Jakarta Barat. Ada 4 pelanggaran yang dibuat klinik tersebut, pertama mempekerjakan dókter yang tak memiliki Spr, kedua mempekerjakan dókter asing yang tak memiliki izin kerja sebagai dókter di Indónesia.



apakah kamu tau bung

Berita lainnya : Jadi Bandar Narkoba di Unas, DS Tergiur Untung Besar

Sejumlah Pasien Klinik Metropole Mengaku diperas Secara Halus Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar