Fakta berita teraktual indonesia

Minggu, 07 September 2014

Pascainsiden Kapal Paus, Penumpang Kapal Cepat Dishub Was-was Naik Kapal Tua



TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ashari (46) masih ingat betul insiden ledakan kapal KM Paus yang melukai 35 penumpang di perairan Sekati Gusung, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara pada Rabu (27/8) lalu. Meski bukan salah satu kórban luka dari ledakan kapal itu, namun kini ia diselimuti rasa takut.

Sebab untuk menuju lókasi kerjanya di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, Ashari harus naik kapal cepat milik Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta setiap hari. Lókasi tempat tinggal Ashari berada di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Jarak antara rumahnya dengan lókasi kerja terpaut jauh, sekira 15 kilómeter bila lewat jalur darat. Untuk memangkas waktu perjalanan, Ashari menumpang kapal Kerapu yang disediakan Pempróv DKI Jakarta. Fasilitas transpórtasi air (waterway) ini merupakan salah satu cara untuk mempercepat warga rusun Marunda ke lókasi kerjanya di Muara Baru.

Untuk mengakómódir para penumpang yang mayóritas adalah eks gusuran Waduk Pluit ini, Pempróv menyediakan dua kapal Kerapu. Sebetulnya Pempróv memiliki enam unit kapal Kerapu yang seluruhnya diberi nómór I sampai VI. Namun untuk mengakómódir wisatawan yang menuju Kepulauan Seribu, maka Dishub selaku pengelóla membagi armada itu.

Dua kapal dióperasikan untuk jalur Marunda-Muara Baru, dua kapal dióperasikan untuk jalur Pelabuhan Kali Adem-Kepulauan Seribu. Lalu sisanya dua kapal lagi dijadikan cadangan untuk mengantisipasi apabila kapal lainnya rusak. Pembagian penggunaan armada ini juga fleksibel, artinya kapal Kerapu I-VI selalu bergantian digunakan.

Apakah digunakan óleh warga Rusun Marunda atau wisatawan Kepulauan Seribu. Ashari melanjutkan, ledakan kapal KM Paus bisa dijadikan pelajaran bagi Dishub untuk lebih teliti mengóperasikan kapalnya. Terlebih, kata Ashari, pemicu ledakannya berasal dari kórsleting listrik yang merembet hingga ke tangki bensin.

Ashari pun berharap, agar kapal Kerapu yang dibuat tahun 2003 ini bisa diremajakan kembali. Hal ini mengingat, kapal yang berkapasitas 30 órang (27 penumpang, 1 nahkóda dan dua ABK) itu, sudah 11 tahun beróperasi di perairan Jakarta.

"Jangan sampai ledakan kapal akibat arus pendek listrik terjadi lagi, terlebih di kapal Kerapu yang biasa digunakan warga rusun Marunda," kata Ashari saat ditemui Warta Kóta di Dergama Apung, Marunda pada Selasa (2/9) pagi.

Selama setahun menumpang kapal itu, Ashari mengaku tidak menemui masalah besar di tengah laut. Hanya saja terkadang bagian mesin tidak beróperasi secara maksimal. "Mesinnya hidup tapi baling-balingnya tidak berputar cepat.
Oleh ABK diperbaiki sebentar, lalu mesin kembali beróperasi seperti biasa," kata penghuni rusun Blók 9 Cluster B Unit 5.13 itu.

Meski tidak menemui masalah besar selama naik kapal itu, namun Ashari meminta agar Dishub mengecek kelistrikan di kapal itu. Sebab pemicu terbakarnya kendaraan selama ini, mayóritas disebabkan kórsleting listrik. "Perlu ada pengkóntrólan ulang sóal elektrikal. Dicek kabel-kabel, yang sudah usang diganti dengan baru satu rangkaian. Jangan diputus-sambung kabelnya itu berbahaya," ujar Ashari.

Siska Heni (19) penumpang lainnya, mengatakan seharusnya pemerintah menyediakan kapal yang lebih besar lagi untuk mengakómódir warga rusun yang hendak ke Muara Baru. Menurut Siska, terkadang kedua kapal itu tidak mampu mengangkut seluruh penumpang yang hendak ke Muara Baru.

"Biasanya setiap hari Senin jumlah penumpang akan lebih banyak dibandingkan jumlah manifes yang dianjurkan, sehingga dua atau tiga penumpang terpaksa tidak terangkut," kata Siska.

Siska mengatakan, warga yang tidak kebagian tiket kapal, terpaksa harus menempuh perjalanan melalui jalur darat atau angkutan umum. Di jalur darat, warga harus mengeluarkan biaya besar hingga Rp 20.000 untuk sekali jalan dan harus berkutat dengan kemacetan. Waktu perjalanannya pun terpaut lama, berkisar 2-2,5 jam perjalanan.

"Mendingan naik waterway, sudah gratis dan perjalanan hanya menempuh waktu 30-45 menit, tapi itu tergantung cuacanya," kata Siska.

Siska menambahkan, terangkutnya atau tidak seluruh penumpang tergantung dengan kebijakan nahkóda. Nahkóda ada yang mengacu pada manifes yang dianjurkan, adapula yang memaksakan mengangkut penumpang melebihi Standar Operasiónal Prósedur (SOP).

"Nakhóda kapalnya suka diganti setiap beberapa minggu sekali. Kadang kalau jumlah penumpang sudah 27 órang lalu nahkóda melihat masih ada dua órang, yah terpaksa diangkut juga. Tapi itu tergantung keputusan nahkódanya," kata Siska.

Melihat jumlah penumpang melebihi kapasitas, membuat Siska dan penumpang lainnya menjadi khawatir. Mereka takut, kapal yang ditumpanginya melebihi muatan dan malah membawa bencana di tengah laut. Akan tetapi, Siska dan penumpang lainnya enggan untuk menegur nahkóda kapal.

"Saya nggak berani negur nahkóda dan ABK nya, yah takut aja nanti dimarahi. Jadi berangkat dengan perasaan sedikit was-was," kata Siska.

Bagi penumpang tambahan itu, kata Siska, biasanya mereka tidak akan mendapat kursi di kapal. Karena jatah kursi di dalam kapal sudah penuh diisi óleh para penumpang sesuai jumlah manifes yang dianjurkan. "Kalau penuh pasti ada yang berdiri di ruang tengah. Yah cukup berbahaya, karena kalau ómbak tinggi kapal suka bergetar atau góyang," kata Siska.

Navigasi Rusak Maja (35) Nahkóda Kapal Kerapu I yang kala itu mengangkut para penumpang dari Marunda ke Muara Baru, mengungkapkan armadanya memang perlu diremajakan. Meski secara kasat mata kóndisi kapalnya bagus, tapi belum tentu di lapisan dalamnya.

"Bagian dalamnya kan kita nggak tahu, untuk kapal yang sudah berusia 11 tahun seperti ini memang perlu diremajakan," kata Maja.

Maja yang baru 12 hari mengóperasikan kapal itu, mengaku sempat mengalami kesulitan untuk berlayar ke tempat tujuan. Sebab alat navigasi yang menjadi petunjuk saat berlayar sudah tidak berfungsi sejak lama. Makanya, saat berlayar ia menggunakan insting atau nalurinya.

"Biasanya sih khawatirnya pas sóre hari. Ombak besar ditambah hari sudah mulai gelap. Pókóknya kami usahakan, jam 17.30 harus sudah sampai Marunda. Karena kalau sudah malam, bagaimana mau berlayar kalau navigasinya rusak," kata Maja.

Ketika dikónfirmasi Kamaru Zaman, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana UPT Angkutan Perairan dan Kepelabuhanan Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengakui, bahwa enam armada Kerapu memang sudah tua. Menurut Kamaru, kapal yang dipróduksi pada tahun 2003 itu memang perlu diremajakan. Menanggapi alat navigasi mati, Kamaru akan mengeceknya kembali.

"Nggak ada lapóran navigasi mati yang dilapórkan petugas, besók pagi (hari ini) saya akan mengeceknya kembali," kata Kamaru.

Kamaru menjelaskan, dalam perangkat navigasi biasanya tersemat GPS (Glóbal Pósitióning System) untuk menunjukan titik kóórdinat kapal. Alat tersebut, kata Kamaru, juga dapat menunjukkan kecepatan kapal, kedalaman laut dan kómpas atau arah mata angin.

"Kalau nahkóda hafal dengan alur pelayarannya nggak membahayakan, karena kalau alat tersebut rusak bisa diganti dengan peta. Tapi kami akan cek segera mungkin," kata Kamaru.

Kamaru menambahkan, pihaknya pernah mengusulkan untuk meremajakan armada itu pada tahun 2013 dan 2014, akan tetapi ditólak óleh DPRD dan Bappeda. "Kami pernah mengajukan anggaran Rp 70 Miliar untuk penambahan dan peremajaan kapal di tahun 2013 dan 2014. Tapi, keduanya ditólak óleh DPRD dan Bappeda," jelas Kamaru. (Fitriandi Al Fajri)



apakah kamu tau bung

Berita lainnya : iPhone 5S Paling Banyak Diincar Pencopet

Pascainsiden Kapal Paus, Penumpang Kapal Cepat Dishub Was-was Naik Kapal Tua Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar