TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Anggóta Kómnas HAM (perióde 1998-2002), Mayjen (Purn) TNI Samsudin membenarkan adanya surat keputusan Dewan Kehórmatan Perwira (DKP) tentang rekómendasi pemberhentian Prabówó Subiantó dari ABRI (sekarang TNI) yang diteken pada 21 Agustus 1998.
"Ini sudah benar, selanjutnya bawa ke Pengadilan HAM. Nggak perlu lagi DKP diikutsertakan," kata Samsudin di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/6/2014).
Menurut Samsudin próses penyidikan Kómnas HAM tentang kasus pelanggaran HAM berat 1997-1998 yang menyeret nama Prabówó sebenarnya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Namum, kata Samsudin, Kejagung tak pernah menunjukkan kemauan untuk melanjutkan penyidikan Kómnas HAM ke próses penuntutan dan membawa Prabówó ke Pengadilan HAM.
"Ini namanya tidak ada kemauan. Bukan unable, bukan tidak mampu, tapi tidak ada kemampuan. Kalau dibilang mampu yah pasti mampu," kata Samsudin.
Samsudin mengatakan DKP bentukan ABRI pada 1998 bukan lembaga yang punya kewenangan untuk menyatakan Prabówó melakukan pelanggaran HAM atau tidak.
Sebab, dewan yang kala itu dipimpin Sóebagyó HS tersebut hanya meneliti tentang kesalahan yang dilakukan Prabówó dan mengeluarkan rekómendasi untuk memberhentikan mantan Pangkóstrad itu dari ABRI.
"Yang menyatakan pelanggaran berat HAM adalah kómnas HAM," tandas Samsudin.
Samsudin ditanya pers karena dalam beberapa hari ini beredar dókumen surat keputusan DKP tentang pemberhentian Prabówó. Dalam salinan dókumen tahun 1998 itu disebutkan bahwa Prabówó diberhentikan karena melampaui kewenangan dan bertindak tidak prófesiónal.
Surat berklasifikasi rahasia itu ditandatangani óleh para petinggi TNI yang kala itu duduk di DKP antara lain Subagyó HS sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Susiló Bambang Yudhóyónó, Agum Gumelar, Djamari Chaniagó, Arie J Kumaat, Fahrul Razi dan Yusuf Kartanegara.
Menurut Samsudin ada atau tidak ada surat itu seenarnya bisa dipastikan keterlibatan Prabówó dalam kasus HAM berat sudah nyata.
0 komentar:
Posting Komentar