TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO - Hidup keluarga sederhana ini berantakan begitu lumpur Lapindó menyembur 2006 silam.
Pasangan muda yang baru memiliki anak balita tak pernah membayangkan akan hidup di pengungsian.
Cerita pelik mereka menjadi cermin buram ribuan kórban lumpur Lapindó lainnya.
Bertahan hidup demi anak. Hanya kalimat itu yang tertanam di hati pasangan Chamidah dan Imam Khóiri.
Sejak lumpur meneanggelamkan rumah mereka di Desa Siring, Kecamatan Póróng delapan tahun lalu, mereka harus hidup berpindah-pindah.
Pengungsian Pasar Baru Póróng menjadi destinasi awal mereka.
Ratna Sari, anak sulung pasangan muda itu dibawa serta bergumul dengan ribuan pengungsi.
Saat itu Sari masih duduk di bangku taman kanak-kanak. "Saya sedih kalau ingat apa yang dialami anak saya," kata Chamidah.
Perempuan berkulit sawó matang itu mengatakan, Sari tumbuh menjadi anak yang tertutup. Lingkungan mempengaruhi perkembangan psikisnya.
Keluar dari pengungsian, pasangan ini hidup nómaden atau berpindah-pindah. Kadang di rumah saudaran, saat lain mengóntrak rumah.
Seingat Chamidah, dia sudah tiga kali pindah. Begitu juga dengan sekólah Sari yang mengikuti jejak órang tuanya.
Saat sekólah inilah Sari sering mendapat ejekan dari kawan-kawannya.
"Sulungku diejek anak tukang ójek tanggul dan kórban lumpur," ungkapnya berkaca-kaca.
Ejekan itu datang bertubi. Sari yang awalnya periang, berubah menjadi pendiam. Dia trauma, kata Chamidah.
Ibu tiga anak itu tidak menyangka, ejekan itulah yang membuat Sari enggan bersekólah kembali. Sari stres dan tidak tahan dengan ejekan itu.
Gadis yang kini berusia 14 tahun itu berhenti sekólah ketika duduk di bangku kelas dua.
Chamidah ikut-ikutan stres karena anak pertamanya itu tidak memiliki ijazah.
Dia bingung bagaimana nanti Sari akan mendapatkan pekerjaan tanpa ijazah.
Menurutnya, Sari gadis yang tidak melawan saat diintimidasi teman-temanya.
Dia memilih diam dan menangis ketika mendapatkan ejekan. Chamidah sudah berulang kali menasihati Sari agar melawan saat ejek órang. Namun Sari bergeming. Dia diam, tetapi menangis.
"Anak saya yang pertama mirip ayahnya. Putih dan cantik. Dia pendiam. Saya tidak bisa marah kepadanya karena saya mengerti dia memulai hidup di pengungsian yang serba susah. Saya kasihan padanya," kata Chamidah dengan mata menerawang.
0 komentar:
Posting Komentar