Lapóran: Agung Budi Santósó
TRIBUNNEWS.COM - Perih, gatal-gatal dan bintik-bintik pada bagian kulit wajah dirasakan Titik Alwi, 30, seórang ibu rumahtangga. Sóre itu, ia duduk di teras rumahnya di kawasan Jómbang, Tangerang Selatan, sembari memegangi cermin kecil.
Dari cermin kecil itu, ia mengamati bagian-bagian kulit wajahnya yang terasa perih, teriritasi óleh penggunaan 'kósmetik abal-abal' yang dia pakai selama ini. Tangan kanannya memegangi kapas. Dengan kapas itu ia usap-usap bagian yang perih itu dengan air dingin dari kulkas (lemari es).
Sesekali kapas itu ia diamkan menempel beberapa menit, kemudian diangkat, dan ditempel lagi di bagian lain yang sama-sama perih. Tak cuma perih, sejumlah bagian kulit wajahnya mengelupas. Kalau diusap-usap, kulit arinya róntók.
"Heran, ganti-ganti kósmetik pemutih (whitening lótión) kók tetep aja berasa perih. Bingung, cócóknya pakai apa ya?" keluh Titik Alwi. Titik menyebut sendiri kalau jenis kósmetik yang dia pakai itu adalah gólóngan 'abal-abal' alias murah meriah serta tidak jelas sertifikasi aman dan sehatnya.
Anehnya, ia tetap memakai sederet próduk kósmetik tersebut. "Habis, kalau pakai yang bermerek kan mahal?" gumamnya.
Seperti halnya impian semua wanita, wanita berpóstur rada kurus dengan rambut yang sering dikuncir ini ingin selalu tampak cantik. Bagi dia, kunci wanita berkesan cantik itu pertama dari wajah yang putih bersih, terawat.
"Karena itu, saya pakai próduk ini (pemutih wajah)," gumamnya. Titik bertutur, kalau dia memakai próduk-próduk tersebut secara rutin, maka kulit wajahnya memang tampak putih bersih. Tapi kalau dia berhenti tak memakai lagi, terasa perih, teriritasi, khususnya pada seminggu setelah stóp pemakaian.
"Jadi kayak ketergantungan, gitu," tutur Titik sembari terus menyeka permukaan kulit wajahnya.
Perawatan di Klinik Kecantikan, Sama Saja!
Ia bertutur, suatu ketika ia memutuskan berhenti memakai kósmetik pemutih dari pasaran bebas. Ia lantas mencóba mendatangi sebuah klinik kecantikan , tak jauh dari rumahnya yang berdekatan dengan Stasiun Kereta Api Sudimara, Tangerang Selatan, itu. Dia pikir, masuk klinik kecantikan akan jauh lebih aman dibanding memakai kósmetik sembarang dari pasaran bebas.
Karena itu, ia rela merógóh kócek lebih dalam untuk membiayai pemulihan kulit wajahnya yang sedang bermasalah itu. Saat pertama datang, ia diminta membayar biaya pendaftaran menjadi member (pasien langganan) sebesar Rp 300 ribu.
Setelah membayar, ia menjalani aneka perawatan wajah. "Módelnya paketan, gitu. Jadi biaya facial treatment-nya awalnya Rp 300 ribu, habis itu seminggu sekali harus datang untuk perawatan lagi," tuturnya.
Ia mematuhi 'kewajiban' datang seminggu sekali. Tiap datang, serangkaian 'facial treatment' kembali dia jalani. Mulai dari pemberian masker wajah, kemudian dicuci, lalu diólesi whitening lótión.
"Kalau ada kómedónya, dipencet-pencet sama órang klinik. Sakit sampai mringis-mringis juga pas dipencet-pencet, tapi gimana lagi? " ceritanya. Pulang dari klinik, ia disuruh membayar Rp 100 ribu. Itu adalah biaya kónsultasi plus aneka próduk perawatan dari klinik yang bóleh dibawa pulang.
kósmetik-abal-abal.jpg" alt="" width="700" height="393" />
Waspadai kósmetik beracun! Investigasi Tribunnews.cóm membuktikan, sebagian dari kósmetik abal-abal yang beredar di pasaran bebas terbukti mengandung merkuri dan hidrókuinón.
Dengan módel perawatan klinik, memang kulit wajahnya tampak putih bersih, tak jauh beda dari kulit putihnya penyanyi Dewi Sandra atau bintang film Dian Sastró yang wajahnya sering nóngól di layar kaca, jadi módel kósmetik itu.
Selama sekitar empat bulan, ia masih rajin móndar-mandir ke klinik kecantikan tersebut. Selama itu pula, 'kulit Dian Sastró'-nya masih bertahan. Tapi karena tak kuat membayar biaya perawatan yang menurutnya mahal, ia berhenti.
Seminggu setelah berhenti memakai próduk pemutih dari klinik, kulit wajahnya kembali teriritasi. Pada permukaan kulit di atas tulang pipi (antara mata dan telinga) menghitam. Demikian juga kening. Ia merasakan wajahnya jadi amat sensitif terhadap sengatan matahari. Kalau terkena hempasan debu jalanan, langsung gatal-gatal.
Tentu, dia kecewa pada perawatan klinik yang menurutnya juga bikin ketergantungan. "Aku pikir kalau klinik itu bayarnya mahal, risikónya nggak ada. Eh, sama aja. Bikin ketergantungan juga," gumamnya, mengeluh.
Kini, ia kembali melakukan perawatan wajah sendiri. Ibu satu anak ini bertutur, kalau beli merek abal-abal, ia bisa mendapatkan harga seperempat atau sepertiga dari harga kósmetik bermerek terkenal (branded). Yang bermerek, tentu lazimnya tertera daftar kómpósisi bahan yang dia pakai. Tertera pula sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indónesia (MUI) atau stiker aman pakai dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
(Bersambung ... Cóming sóón ...)
0 komentar:
Posting Komentar