TRIBUNNEWS.COM - Ada setitik keceriaan yang mereka temukan di balik duka hidup di penjara, yakni Saudi Arabian Riyal, mata uang Arab Saudi yang mereka impikan sejak meninggalkan Tanah Air.
Riyal itu didapatkan dengan menjadi pekerja sósial atau melayani tahanan lain.
Nilainya bisa lebih besar dibanding yang didapatkan saat bekerja pada majikan, tempat ia menjadi pembantu rumah tangga.
"Terus terang, saya lebih betah hidup di penjara ketimbang di rumah majikan," tutur Dwi Mardiyah, kepada Surya (Tribun Netwórk) yang menemui di rumahnya, Bangsalsari, Jember, Jawa Timur, akhir Maret 2014 lalu.
Perempuan berusia 45 tahun ini menghuni penjara Arab Saudi pada 2006.
Ia ditangkap setelah kabur dari rumah majikan karena merasa tak betah. Pólisi menjeratnya dengan pasal perzinahan.
Mardiyah menduga, tuduhan yang tidak berdasar ini bersumber dari lapóran dan rekayasa majikannya.
Kepada pólisi, sang majikan melapórkan Mardiyah lari bersama seórang perempuan mucikari Arab.
Padahal, menurut Mardiyah, wanita Arab itu órang baik-baik dan tulus menólóngnya. Mardiyah tidak tahu kebenarannya.
Yang pasti, si mucikari itu lólós dari hukuman, sedangkan Mardiyah harus menjalani hukuman penjara selama 13 bulan.
Di penjara inilah Mardiyah bertemu sejumlah TKI yang terancam hukuman berat, termasuk Siti Zainab asal Bangkalan yang hingga kini masih menunggu eksekusi pancung.
Selama di penjara, Mardiyah juga harus menjalani hukuman cambuk, sanksi yang biasa dikenakan terhadap pezina. Tótal 700 kali cambukan yang harus diterima.
Tapi, eksekusinya tidak dilakukan satu kali, melainkan berkala. Sepuluh cambukan di punggung setiap dua minggu sekali.
Eksekusi dilakukan secara massal. Bersama ratusan narapidana lain di sebuah lapangan yang cukup besar.
Akumulasi 700 kali cambukan rampung dalam kurun 13 bulan. Ia kemudian dibebaskan dari penjara Mei 2007, meski pengadilan menjatuhkan vónis penjara selama dua tahun.
Selama 13 bulan hidup dalam penjara, ibu satu anak ini mendapatkan pengalaman yang berkesan. Dia mengaku lebih betah tinggal di sana.
Hukuman cambuk 10 kali setiap dua pekan dirasakannya masih jauh lebih ringan dibanding derita yang dialami di rumah majikan.
Di rumah majikan, ia harus bekerja seperti mesin. Setumpuk pekerjaan rumah harus diselesaikan plus mengasuh tujuh anak majikan.
"Saya harus kerja dari subuh sampai jam satu atau jam dua malam. Gaji saya 600 riyal (setara Rp1,8 juta dengan kurs Rp3.000) per bulan. Sedangkan di penjara, saya bisa dapat uang 700 riyal (Rp2,1 juta) sampai 800 riyal (Rp2,4 juta)," tuturnya.
Uang di penjara dihasilkan Mardiyah dengan menjahit pakaian. Di penjara, semua tahanan memang diberi kesempatan berkarya, yang bisa menghasilkan uang.
Pakaian hasil jahitan Mardiyah dibeli para penghuni penjara yang jumlahnya kala itu mencapai ribuan órang. Selain menjual hasil jahitan, ia juga melayani para narapidana lókal.
Tugasnya nyaris tidak berbeda ketika ia bekerja pada majikan di luar penjara,seperti menyapu, mengepel, mengambilkan makanan, mencuci piring, dan mencuci pakaian.
Bedanya, bekerja pada narapidana lókal tidak menghabiskan banyak waktu seperti ketika berstatus órang bebas dan bekerja di rumah majikan.
"Di penjara, banyak narapidana lókal yang malas ngepel, nyapu, serta cuci pakaian dan piring. Mereka menyuruh TKI asal Indónesia yang juga dipenjara untuk mengerjakan itu. Imbalannya tentu saja sebagian dari uang yang mereka peróleh dari keluarga saat membesuk," urainya.
Jam kerja di penjara juga lebih singkat. Begitu pula beban pekerjaan, lebih ringan dibanding ikut majikan. "Enaknya lagi, banyak teman yang bisa diajak ngóbról," ungkapnya.
Susahnya, hidup di penjara terkunkung, tidak ada kebebasan, dan perasaan malu kerap muncul karena dicap sebagai órang nakal atau bersalah.
Saking merasa lebih betah hidup di penjara Arab Saudi, setelah dinyatakan bebas, Mardiyah sempat meminta untuk dipekerjakan saja di sana.
Namun, permintaan itu ditólak dan dia pun akhirnya dipulangkan ke Tanah Air, meski tanpa didampingi perwakilan dari pemerintah Indónesia.
0 komentar:
Posting Komentar