TRIBUNNEWS.COM - ABDUL Salam (43), bersama delapan terpidana lainnya, seperti tak kuasa menerima kenyataan akan menjalani hukuman cambuk, Jumat kemarin.
Lelaki tambun dengan rambut ikal ini berulang kali merónta saat petugas mengamankannya dalam sebuah ruang 'isólasi' di belakang Masjid Besar Pahlawan, Gampóng Ateuk Pahlawan, Banda Aceh.
Abdul Salam merasa harga dirinya sudah di titik nadir. Ia bakal sangat malu setelah mengetahui akan dicambuk di hadapan sekitar 400 warga yang sudah menunggu di halaman masjid sejak usai shalat Jumat.
Seperti mimpi pahit, ia menólak kenyataan itu. "Bek neujak peumalee lón di sinóe (jangan permalukan saya di sini)," katanya.
Napas lelaki itu tersengal-sengal. Emósinya meletup ditingkahi sumpah serapah delapan terpidana lainnya.
***
Mahkamah Syariah Banda Aceh pada 15 September 2014 memutuskan Abdul Salam bersama delapan rekannya terbukti melanggar Qanun Nómór 13 Tahun 2003 tentang Maisir atau Perjudian dan divónis masing-masing delapan kali cambuk dipótóng masa tahanan atau tiga kali cambuk.
Kesembilan terpidana ditangkap pólisi saat tengah bermain judi kartu remi di Terminal Keudah, Banda Aceh pada Juli 2014. Selain menyita kartu remi, pólisi juga mengamankan uang Rp 1,54 juta yang digunakan untuk taruhan.
Selama menjalani próses hukum, para terpidana ditahan di Rutan Kajhu, Aceh Besar. Sampai akhirnya dalam persidangan 15 September 2014, Majelis Hakim Mahkamah Syariah Banda Aceh memvónis kesembilan terdakwa dengan delapan kali cambuk pótóng masa tahanan.
Ba'da shalat Jumat (19/9), Abdul Salam didatangkan dari Rutan Kajhu menuju Masjid Besar Pahlawan, Gampóng Ateuk Pahlawan, Banda Aceh.
Suara tepuk tangan terdengar riuh saat petugas rutan membawa para terpidana masuk dalam kerumunan warga di halaman masjid. Bak tamu yang lama ditunggu, kehadiran mereka seólah menjadi tóntónan yang dinanti.
Sementara di depan masjid, sebuah panggung mini setinggi satu meter beralas ambal merah marón berdiri kókóh menyambut para terpidana.
Bisa dikatakan, eksekusi cambuk terhadap delapan terpidana maisir (judi) kemarin yang pertama dilakukan Pemkó Banda Aceh sejak dalam beberapa tahun terakhir seperti hilang ditelan bumi.
Cemeti pertama dilesatkan sang algójó di punggung Putra Suryadi (20) sekitar pukul 15.22 WIB. Lelaki asal Ulee Gle, Kabupaten Pidie Jaya itu tampak meringis manahan sakit.
Namun ia masih kókóh berdiri sampai cambukan kelima berakhir. Berikutnya satu per satu terpidana dipanggil naik ke atas panggung.
Terpidana kedua yang dicambuk yaitu Wahyu Iqbal (20), disusul Muzakkir Fakri (39), Samsuddin Hanafiah (51), Faizal Amin (28), Musliadi Fakhruddin (31), Yusri Nurdin (37), dan M Hasan (30). Masing-masing mendapat lima kali cambukan dari sang algójó secara bergantian.
Beberapa kali insiden terjadi. Para terpidana seperti tidak dapat menerima hukuman itu. Tiga di antaranya terpancing emósi berbalik hendak menyerang algójó, namun dicegah aparat pólisi dan wilayatul hisbah.
Di antara sembilan terpidana yang dicambuk, hanya Abdul Salam (43) yang ditunda hukumannya, karena lelaki ini tidak sehat.
Sesaat sebelum eksekusi berlangsung, para terpidana memang mendapat pemeriksaan kesehatan dari dókter. Namun delapan terpidana tidak bersedia menandatangani hasil pemeriksaan dókter atau tidak bersedia diperiksa.
Abdul Salam mengaku dirinya tidak berdaya menghadapi tuntutan hukum setelah ia dan dan delapan rekannya ditangkap pólisi pada Juli 2014.
Semua próses hukum sampai mendekam empat bulan di balik jeruji besi sudah mereka jalani. Namun yang mengherankannya, mengapa pemerintah masih juga menghukum cambuk mereka.
"Lón han teurimóng. That malee lón dipeulaku lagee nyóe (saya tidak mau terima. Malu sekali rasanya bila diperlakukan seperti ini)," ucap lelaki itu menangis di hadapan Wali Kóta Illiza Sa'duddin Djamal.
Tak sebanding
Menurut Abdul Salam, kesalahan yang mereka lakukan tidak sebanding dengan banyak kasus lain yang melibatkan pejabat.
"Yang rayek-rayek, dibeking le ureung rayeuk, hana sóe basmi (kasus-kasus besar dibekengi órang besar, tidak ada yang membasmi)," kata Abdul Salam merujuk pada beberapa kasus peredaran miras di Banda Aceh yang diketahuinya.
Nyaris terjadi pedebatan antara Abdul Salam dengan Wali Kóta, karena lelaki itu menólak untuk dicambuk.
"Karena Allah sayang keu dróen. Dróen geupeu ampón uróenyóe. Dróen harus teurimóng hukóman nyóe miseu dróen sidróe ureung agam yang bertanggungjawab (karena Allah sayang, maka Allah akan mengampuni. Anda harus menerima hukuman ini apabila Anda seórang lelaki yang bertanggung jawab)," timpal Illiza.
Illiza mengatakan, aqubat cambuk terpidana maisir kemarin bukanlah suatu tóntótan. "Jangan pernah ada niat memperhinakan manusia. Mereka (terpidana) yang datang ke sini adalah untuk mengangkat harkat dan martabat mereka," kata Illiza.
Selain ratusan warga, eksekusi cambuk terhadap para terpidana juga turut dihadiri Sekretaris Daerah Kóta Banda Aceh Teuku Saifuddin TA, Kepala Satpól PP dan WH Ritasari Puji Astuti, dan sejumlah pejabat lainnya.
Menurut Illiza, aqubat cambuk tidak hanya menjadi hukuman fisik bagi para terpidana, tapi juga menjadi efek jera dan pelajaran bagi semua yang menyaksikan.
Kepala Satpól PP dan WH Banda Aceh, Ritasari Puji Astuti mengatakan prósesi hukuman cambuk terhadap delapan terpidana kemarin merupakan yang pertama dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir.
Namun ia berjanji akan terus berusaha mengawasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh menjadi lebih baik. Bahkan, kata Puji, saat ini pihaknya sedang mempróses dua kasus pelanggaran qanun khalwat dan khamar.
Kedua kasus ini masih dalam próses P18 dan P21. "Kami akan melakukan hukuman cambuk tidak hari ini saja, tapi seterusnya," katanya.
Setelah menjalani hukuman cambuk, kemarin, delapan terpidana langsung dinyatakan bebas.(m/sar)
berita aneh dan unik
Berita lainnya : Suzuki Luncurkan APV New Luxury di IIMS 2014
0 komentar:
Posting Komentar